Pokok - Pokok Hukum Mengenai Konsumen, Anti Monopoli, Sengketa dan Persaingan
By irna ardelia - 02.25
PERTEMUAN 4
NAMA : IRNA
ARDELIA
NPM : 22217985
KELAS : 2EB17
11.1 KONSUMEN
11.1.1
Pengertian Konsumen
Konsumen adalah
semua pihak yang menggunakan barang/ jasa yang ada di masyarakat, baik untuk
kepentingan pribadi, orang lain, dan mahluk hidup lainnya dan tidak untuk
dijual kembali. Menurut
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 tentang Perlindungan Konsumen,
pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang
tersedia di masyarakat, baik bagi kebutuhan diri sendiri, keluarga, orang lain,
atau mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Dengan
kata lain, sebagian besar konsumen adalah pengguna akhir dari suatu barang/
jasa. Bila pembelian barang bertujuan untuk dijual kembali, maka pembeli
tersebut adalah konsumen antara yang dikenal dengan distributor atau
pengecer. Kata
“konsumen” berasal dari bahasa Inggris, yaitu “consumer” yang artinya
adalah setiap orang yang menggunakan atau mengkonsumsi suatu produk (barang/
jasa).
11.1.2 Pengertian Konsumen
Menurut Para Ahli
Agar lebih memahami apa
arti konsumen, maka kita dapat merujuk pada pendapat beberapa ahli berikut ini:
1.
Dewi
Menurut
Dewi (2013:1), pengertian konsumen adalah seseorang yang menggunakan suatu
produk (barang dan/atau jasa) yang dipasarkan.
2.
Sri Handayani
Menurut
Sri Handayani (2012:2), pengertian konsumen adalah seseorang/ suatu organisasi
yang membeli atau menggunakan sejumlah barang atau jasa dari pihak lainnya.
3.
Aziz Nasution
Menurut
Aziz Nasution, arti konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau
jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu.
4.
Philip Kotler
Menurut
Philip Kotler (2000) dalam bukunya “Principles Of Marketing”, pengertian
konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh
barang atau jasa untuk dikonsumsi secara pribadi.
11.2 ASAS DAN TUJUAN
11.2.1 Asas dan Tujuan Hukum
Perlindungan Konsumen
Sebelumnya telah
disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan
di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya.
Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen
adalah:
·
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri
· Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
· Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa
· Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen
· Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
· Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
· Meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
11.2.2 Asas-Asas Pasal 2 UU PK :
Sedangkan asas-asas yang
dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2
UU PK adalah:
ร Asas
manfaat
Asas ini mengandung makna
bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada
kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang
kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus
memperoleh hak-haknya.
ร Asas
keadilan
Penerapan asas ini dapat
dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen
serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat
memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
ร Asas
keseimbangan
Melalui penerapan asas
ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat
terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
ร Asas
keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU
PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan.
ร Asas
kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik
konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum setelah mengetahui pengertian
beberapa hal tersebut diatas maka sepertinya sudah waktunya konsumen mengetahui
hak-hak apa saja yang ia miliki, di dalam UU ini sebagaimana diuraikan di dalam
pasal 4
hak-hak konsumen sebagai
berikut :
o
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa
serta mendapatkan barang dan/atau jasa
o
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi yang telah dijanjikan
o
Hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan
o
barang dan/atau jasa
o
Hak untuk di dengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
o
digunakan
o
Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
o
perlindungan konsumen secara patut
o
Hak untuk mendapat pembinaan dan pembinaan
konsumen
o
Hak untuk diperlakukan atau di layani
secara benar dan jujur serta tidak
o
diskriminatif
o
Hak untuk mendapat konpensasi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau
o
jasa yang di terima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana
o
mestinya
o
Hak – hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya
o
Dengan demikian banyak hak yang kita dapat
sebagai konsumen, banyak hal yang sebenarnya dapat kita cermati saat membeli
sebuah produk barang atau jasa, banyak hal-hal kecil adakalanya luput dari
perhatian kita saat kita memutuskan untuk membeli sebuah produk, yang akhirnya
hal tersebut membuat tidak berfungsinya hak-hak yang kita miliki.
11.3 HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
11.3.1 Kewajiban kosumen
Kewajiban konsumen diatur
di dalam pasal 5, di dalam pasal tersebut kewajiban konsumen adalah :
§ Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
§ pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan ;
§ Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa ;
§ Membayar
sesuai nilai tukar yang disepakati ;
§ Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
11.4 HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen,
pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
§ hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
§ hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
§ hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
§ hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
11.4. 1 kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal
7 UUPK adalah:
· · beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
· memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
· memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
· menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
· memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
· memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
· memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
· Bila
diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi
konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula
dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
· Bila
dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak
bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus
melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan
iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
· Kewajiban-kewajiban
pelaku usaha juga sangat erat kaitannya dengan larangan dan tanggung jawab
pelaku usaha yang akan kita bahas nanti.
11.5 PERBUATAN YANG DILARANG BAGI
PELAKU USAHA
11.5.1 pelaku
usaha yang dilarang, sebagai berikut :
1. Pelaku usaha dilarang memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
·
· Tidak
sesuaidengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
· Tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
· tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
· Tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
· Tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
· Tidak mencantumkan yang kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan yang paling baik atau barang tertentu.
· Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan”halal”
yang dicantumkan dalam label;
· Tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
· tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
2.
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan
barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi
secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
3.
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar,
dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
4.
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
11.6 KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN
Klausula
Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan
dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi
jual beli tidak boleh merugikan konsumen.
11.6.1 Tanggung jawab pelaku
usaha yaitu :
ร Pasal
19
(1)
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan
(2)
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi
(4)
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila
pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen
ร Pasal
20
Pelaku usaha periklanan
bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan
oleh iklan tersebut
ร Pasal
21
(1)
Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila
importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen
luar negeri
(2)
Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan
jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa
asing
ร Pasal
22
Pembuktian terhadap ada
tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku
usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian
ร Pasal
23
Pelaku usaha yang menolak
dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen
atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen
ร Pasal
24
(1)
Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila :
a.
pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun
atas barang dan/atau jasa tersebut
b.pelaku
usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan
barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan
contoh, mutu, dan komposisi
(2)
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab
atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain
yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan
melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut
ร Pasal
25
(1)
Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam
batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang
dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai
dengan yang diperjanjikan
(2)
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan
ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut
·
tidak menyediakan atau lalai menyediakan
suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan
·
tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan
atau garansi yang diperjanjikan.
ร Pasal
26
Pelaku usaha yang
memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati
dan/atau yang diperjanjikan.
ร Pasal
27
Pelaku usaha yang
memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita
konsumen, apabila :
·
cacat
barang timbul pada kemudian hari
·
cacat
timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
·
kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen
·
lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat)
tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
ร Pasal
28
Pembuktian terhadap ada
tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku
usaha.
11.7 SANKSI
Sanksi dalam bahasa
Indonesia diambil dari bahasa Belanda, sanctie, seperti dalam poenale sanctie
yang terkenal dalam sejarah Indonesia di masa kolonial Belanda
Sanksi yang melibatkan
negara, sebagai berikut :
1. § Sanksi
internasional, yaitu langkah-langkah hukuman yang dijatuhkan oleh suatu negara
atau sekelompok negara terhadap negara lain karena alasan-alasan politik.
§ Sanksi
diplomatik, yaitu penurunan atau pemutusan hubungan diplomatik, seperti
misalnya penurunan tingkat hubungan diplomatik dari kedutaan besar menjadi
konsulat atau penarikan duta besar sama sekali.
§ Sanski
ekonomi, biasanya berupa larangan perdagangan, kemungkinan dalam batas-batas
tertentu seperti persenjataan, atau dengan pengecualian tertentu, misalnya
makanan dan obat-obatan, seperti yang dikenakan oleh Amerika Serikat terhadap
Kuba.
§ Sanksi
militer, dalam bentuk intervensi militer
§ Sanksi
perdagangan, yaitu sanksi ekonomi yang diberlakukan karena alasan-alasan
non-politik, biasanya sebagai bagian dari suatu pertikaian perdagangan, atau
semata-mata karena alasan ekonomi. Lazimnya melibatkan pengenaan tarif khusus
atau langkah-langkah serupa, dan bukan larangan total.
12.1
AZAS DAN TUJUAN
12.1.1 Pengertian Azas dan Tujuan
ร Azas
Pelaku usaha di Indonesia
dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan
umum.
ร Tujuan
Undang-Undang (UU)
persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk
memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang
cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari
UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan
konsumen.
Tujuan yang terkandung di
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :
·
· Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat,
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
· Mencegah
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha.
· Terciptanya
efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
12.2 KEGIATAN YANG DILARANG
12.2.1 Kegiatan yang dilarang
berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2:
Posisi dominan adalah
keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam
kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan,
serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu. Menurut
pasal 33 ayat 2 ” Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi
seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh
dikuasai swasta sepenuhnya.
12.3
PERJANJIAN YANG DILARANG
1. 1. Oligopoli: keadaan pasar dengan
produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau
seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2. Penetapan harga: dalam rangka
penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain:
· Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama
· Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
· Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
3. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
daripada harga yang telah dijanjikan.
4. Pembagian wilayah: Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
5. Pemboikotan: Pelaku usaha dilarang
untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi
pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri.
6. Kartel: Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
7. Trust: Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan
anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa.
8. Oligopsoni: Keadaan dimana dua atau
lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal
atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
9.
Integrasi vertikal: Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung.
10. Perjanjian
tertutup: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa
hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu
11. Perjanjian
dengan pihak luar negeri: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
12. Penggabungan: perbuatan
hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan
beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan
selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena
hukum.
13. Peleburan: perbuatan
hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang
karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang
meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena
hukum.
14. Pengambilalihan: perbuatan
hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik
seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut .
13.1 HAL- HAL YANG DIKECUALIKAN
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu :
ร Pasal
50
· perbuatan dan atau perjanjian yang
bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
·
· perjanjian
yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten,
merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu,
dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
· perjanjian
penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau
menghalangi persaingan;
· perjanjian
dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali
barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan;
· perjanjian
kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat
luas;
· perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
· perjanjian
dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan
dan atau pasokan pasar dalam negeri;
· pelaku
usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
· kegiatan
usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
ร Pasal
51
Monopoli dan atau
pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh
Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau
ditunjuk oleh Pemerintah.
13.2
KOMISI PENGAWASAN PERSAINGAN USAHA (KPPU)
Komisi pengawasan persaingan usaha (KPPU) adalah
sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat
undang – undang no 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
13.2.1 KPPU
menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut :
· § Perjanjian
yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang
dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian
tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust
(persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat
§ Kegiatan
yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui
pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat
§ Posisi
dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya
untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis
pelaku usaha lain.Dalam pembuktian, KPPU
menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada
tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan
eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan
13.2.2 Keberadaan KPPU
diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :
· § Konsumen
tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
§ Keragaman
produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
§ Efisiensi
alokasi sumber daya alam
§ Konsumen
tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim
ditemui pada pasar monopoli
§ Kebutuhan
konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan
layanannya
§ Menjadikan
harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
§ Membuka
pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
§ Menciptakan
inovasi dalam perusahaan
13.3
SANKSI
ร Pasal
36
Pasal 36 UU Anti
Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan
dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga
berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur
dalam
ร
Pasal
47 Ayat (2) UU Anti Monopoli
Meski KPPU hanya diberikan kewenengan menjatuhkan sanksi administrative
UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan
mengenai pidana pokok sementara pidana tambahan dijelaskan dalam pasal 49.
ร Pasal
48
Pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal
19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 6 (enam) bulan. Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai
dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
Pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya
Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000
(lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3
(tiga) bulan.
ร Pasal
49
Dengan menunjuk ketentuan
Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :
·
pencabutan izin usaha; atau
·
larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
·
penghentian kegiatan atau tindakan
tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
14.1 SENGKETA
14.1.1 Pengertian Sengketa
Sengketa
dalam kamus Bahasa Indonesia berarti pertentangan atau konflik, konflik berarti
adanya oposisi atau pertentangan antara orang – orang, kelompok- kelompok, atau
organisasi – organisasi terhadap satu objek permasalahan senada dengan itu
menurut pada pendapat, sebagai berikut :
a. a. Winardi
mengemukakan pertentangan atau konflik yang terjadi antara induvidu -induvidu
atau kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama
atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan
yang lain
b. Ali
Achmad mengemukakan pertantangan antara dua phak atau lebih yang berawal dari
persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
14.1.2 Sebab-sebab
Timbulnya Sengketa Berikut ini beberapa teori tentang sebab-sebab timbulnya
sengketa, antara lain :
a.
Teori hubungan masyarakat
Teori
hubungan masyarakat, menitikberatkan adanya ketidakpercayaan dan rivalisasi
kelompok dalam masyarakat. Para penganut teori ini memberikan solusi-solusi
terhadap konflik-konflik yang timbul dengan cara peningkatan komunikasi dan
saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta
pengembangan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keberagaman
dalam masyarakat (Takdir Rahmadi, 2011: 8).
b.
Teori negosiasi prinsip
Teori
negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik terjadi karena adanya
perbedaan-perbedaan diantara para pihak. Para penganjur teori ini berpendapat
bahwa agar sebuah konflik dapat diselesaikan, maka pelaku harus mampu
memisahkan perasaan pribadinya dengan masalah-masalah dan mampu melakukan
negosiasi berdasarkan kepentingan dan bukan pada posisi yang sudah tetap
(Takdir Rahmadi, 2011: 8).
c.
Teori identitas
Teori
ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena sekelompok orang merasa
identitasnya terancam oleh pihak lain. Penganut teori identitas mengusulkan
penyelesaian konflik karena identitas yang terancam dilakukan melalui
fasilitasi lokakarya dan dialog antara wakil-wakil kelompok yang mengalami
konflik dengan tujuan mengidentifikasikan ancaman-ancaman dan kekhawatiran yang
mereka rasakan serta membangun empati dan rekonsiliasi. Tujuan akhirnya adalah
pencapaian kesepakatan bersama yang mengakui identitas pokok semua pihak
(Takdir Rahmadi, 2011: 9).
d.
Teori kesalahpahaman antar budaya
Teori
kesalahpahaman antar budaya menjelaskan bahwa konflik terjadi karena
ketidakcocokan dalam berkomunikasi diantara orang-orang dari latar belakang
budaya yang berbeda. Untuk itu, diperlukan dialog antara orang-orang yang
mengalami konflik guna mengenal dan memahami budaya masyarakat lainnya,
mengurangi stereotipe yang mereka miliki terhadap pihak lain (Takdir Rahmadi,
2011: 9).
e.
Teori transformasi
Teori
ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya masalah-masalah
ketidaksetaraan dan ketidakadilan serta kesenjangan yang terwujud dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi maupun politik.
Penganut teori ini berpendapat bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan
melalui beberapa upaya seperti perubahan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan
ketidaksetaraan, peningkatan hubungan, dan sikap jangka panjang para pihak yang
mengalami konflik, serta pengembangan proses-proses dan sistem untuk mewujudkan
pemberdayaan, keadilan, rekonsiliasi dan pengakuan keberadaan masing-masing
(Takdir Rahmadi, 2011: 9).
f.
Teori kebutuhan atau kepentingan manusia
Pada
intinya, teori ini mengungkapkan bahwa konflik dapat terjadi karena kebutuhan
atau kepentingan manusia tidak dapat terpenuhi/ terhalangi atau merasa
dihalangi oleh orang/ pihak lain. Kebutuhan dan kepentingan manusia dapat
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu substantif, prosedural, dan psikologis.
Kepentingan substantif (substantive) berkaitan dengan kebutuhan manusia yang
yang berhubungan dengan kebendaan seperti uang, 20 sandang, pangan, papan/rumah,
dan kekayaan. Kepentingan prosedural (procedural) berkaitan dengan tata dalam
pergaulan masyarakat, sedangkan kepentingan psikologis (psychological)
berhubungan dengan non-materiil atau bukan kebendaan seperti penghargaan dan
empati (Takdir Rahmadi, 2011: 10)
14.2 CARA – CARA PENYELESAIAN SENGKETA
Menurut Pasal 33 Ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai
usaha Bersama bedasarkan atas asas keluargaan) piagam PBB Penyelesaian
sengeketa dapat melalui cara – cara sebagai berikut :
1.
Penyelesaian Sengketa melalui Litigasi
Proses
penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui pengadilan atau yang sering
disebut dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu penyelesaian sengketa yang
dilaksanakan dengan proses beracara di pengadilan di mana kewenangan untuk
mengatur dan memutuskannya dilaksanakan oleh hakim. Litigasi merupakan proses
penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa
saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka
pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi
adalah putusan yang menyatakan win-lose solution (Nurnaningsih Amriani, 2012:
35). Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis,
menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung menimbulkan
masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak
responsif dan menimbulkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa.
Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari alternatif lain yaitu penyelesaian
sengketa di luar proses peradilan formal. Penyelesaian sengketa di luar proses
peradilan formal ini lah yang 21 disebut dengan “Alternative Dispute
Resolution” atau ADR (Yahya Harahap, 2008: 234).
2. Penyelesaian
Sengketa melalui Non-Litigasi
Dalam
penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya
penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR),
yang dalam perspektif Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Alternative Dispute Resolution adalah suatu
pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para
pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di
pengadilan. Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian
sengketa semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi
kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan maupun di Mahkamah Agung (Buku
Tanya Jawab PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, 2008:
1).
14.2.1 Alternatif dalam
penyelesaian sengketa jumlahnya banyak diantaranya :
a. Arbitrase
Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa menjelaskan bahwa arbitrase (wasit) adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan
yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak
ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Badan Peradilan
yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.
b. Negosiasi
Menurut Ficher dan Ury sebagaimana
dikutip oleh Nurnaningsih Amriani (2012: 23), negosiasi merupakan komunikasi
dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak
memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Hal ini selaras
dengan apa yang diungkapkan oleh Susanti Adi Nugroho (2009: 21) bahwa negosiasi
ialah proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui
proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan
penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh
kedua belah pihak.
c. Mediasi
Mediasi pada dasarnya
adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai
prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk
mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga dapat lebih efektif dalam proses
tawar menawar (Nurnaningsih Amriani, 2012: 28). Mediasi juga dapat diartikan
sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama
melalui mediator yang bersikap 23 netral, dan tidak membuat keputusan atau
kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya
dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat
untuk tercapainya mufakat (Susanti Adi Nugroho, 2009: 21).
d. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan
lanjutan dari mediasi. Mediator berubah fungsi menjadi konsiliator. Dalam hal
ini konsiliator menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para pihak. Jika para pihak
dapat menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator akan menjadi resolution.
Kesepakatan yang terjadi bersifat final dan mengikat para pihak. Apabila pihak
yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga
mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi
(Nurnaningsih Amriani, 2012: 34).
e. Penilaian
ahli
Penilaian ahli merupakan
cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta pendapat atau
penilaian ahli terhadap perselisihan yang sedang terjadi (Takdir Rahmadi, 2011:
19).
f.
Pencari fakta (fact finding)
Pencari fakta adalah sebuah cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta bantuan sebuah tim yang biasanya terdiri atas para ahli dengan jumlah ganjil yang menjalankan fungsi penyelidikan atau penemuan fakta-fakta yang diharapkan memperjelas duduk persoalan dan dapat mengakhiri sengketa (Takdir Rahmadi, 2011: 17).
Pencari fakta adalah sebuah cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta bantuan sebuah tim yang biasanya terdiri atas para ahli dengan jumlah ganjil yang menjalankan fungsi penyelidikan atau penemuan fakta-fakta yang diharapkan memperjelas duduk persoalan dan dapat mengakhiri sengketa (Takdir Rahmadi, 2011: 17).
14.3 MEDIASI
14.3. 1
Pengertian Mediasi
Mediasi merupakan
kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata Inggris yaitu mediation. Mediasi
sering diungkapkan dalam berbagai definisi, diantaranya sebagai berikut :
1. .
1.Menurut
Christopher W. Moore (1986) yang dikutip oleh Susanti Adi Nugroho (2009:24),
mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh pihak
ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai
kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para pihak yang berselisih
dalam upaya mencapai kesepakatan secara sukarela dalam penyelesaian
permasalahan yang disengketakan.
2.Menurut Folberg dan Taylor (1986)
sebagaimana dikutip oleh Susanti Adi Nugroho (2009: 24), mediasi adalah suatu
proses dimana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang, secara
sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan 25 untuk mencari
alternatif dan mencapai penyelesaian yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka.
Dengan
demikian, yang dimaksud dengan mediasi ialah suatu perundingan antara
pihak-pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh seorang atau lebih mediator
yang netral dalam rangka untuk mencapai kata mufakat dalam penyelesaian
sengketa, yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Pendekatan konsensus
atau mufakat dalam proses mediasi mengandung pengertian bahwa segala sesuatu
yang dihasilkan dalam proses mediasi harus merupakan hasil kesepakatan atau persetujuan
para pihak. Mediasi dapat ditempuh oleh para pihak yang terdiri atas dua pihak
yang bersengketa maupun lebih dari dua pihak (multiparties) (Takdir Rahmadi,
2011: 13). Penyelesaian dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang
bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Namun, ada kalanya karena berbagai
faktor, para pihak tidak mampu mencapai penyelesaian sehingga mediasi berakhir
dengan jalan buntu (deadlock, stalemate). Situasi ini yang membedakan mediasi
dari litigasi. Litigasi pasti berakhir dengan sebuah penyelesaian hukum, berupa
putusan hakim, meskipun penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah
sengketa karena ketegangan diantara para pihak masih berlangsung dan pihak yang
kalah selalu tidak puas (Takdir Rahmadi, 2011: 13).
Mediator
yang netral mengandung pengertian bahwa mediator tidak berpihak (impartial),
tidak memiliki kepentingan dengan perselisihan yang sedang terjadi, serta tidak
diuntungkan atau dirugikan jika sengketa dapat diselesaikan atau jika mediasi
menemui jalan buntu. Bantuan mediator yang bersifat prosedural antara lain
mencakup tugastugas memimpin, memandu, dan merancang sesi-sesi pertemuan atau
perundingan, sedangkan bantuan substansial berupa pemberian saransaran kepada
pihak yang bersengketa tentang penyelesaian pokok sengketa (Takdir Rahmadi,
2011: 14). Peran mediator dapat bersifat aktif maupun pasif dalam membantu para
pihak. Peran aktif harus dilakukan bila para pihak yang bersengketa tidak mampu
melaksanakan perundingan yang konstruktif. Sebaliknya mediator memainkan peran
pasif jika para pihak sendiri mampu melaksanakan perundingan yang konstruktif
dalam arti para pihak sendiri mampu mengusulkan kemungkinan-kemungkinan
pemecahan masalah dan membahas usulan pemecahan masalah itu guna mengakhiri
sengketa. Dengan demikian, tingkatan peran mediator dalam membantu para pihak
menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka sangat situasional, yaitu tergantung
pada kemampuan para pihak dalam melaksanakan perundingan (Takdir Rahmadi, 2011:
14)
14.3.2 Keuntungan Menyelesaikan
Sengketa melalui Mediasi Adapun keuntungan penyelesaian sengketa melalui
mediasi antara lain :
· Penyelesaian
sengketa dilakukan para pihak sendiri Penyelesaian melalui mediasi tidak
diserahkan kepada kemauan dan kehendak hakim atau arbiter, tetapi diselesaikan
oleh para pihak sendiri sesuai dengan kemauan para pihak, sehingga akan dicapai
keputusan yang win-win solution (Yahya Harahap, 2008: 237).
· Jangka
waktu penyelesaian pendek Pada umumnya, jangka waktu penyelesaian hanya satu
atau dua minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan kerendahan
hati dari kedua belah pihak. Itu sebabnya disebut bersifat speedy (cepat)
antara 5-6 minggu (Yahya Harahap, 2008: 237).
· Biaya
ringan Penyelesaian dengan mediasi tidak memakan biaya yang tinggi yang dapat
memberatkan kedua belah pihak seperti dalam proses litigasi. Para pihak hanya
membutuhkan biaya yang ringan dalam mediasi (Yahya Harahap, 2008: 237).
· Aturan
pembuktian tidak perlu Tidak ada pertarungan yang sengit antara para pihak
untuk saling membantah dan menjatuhkan pihak lawan melalui sistem dan prinsip
pembuktian yang formil dan teknis yang sangat menjemukan seperti halnya dalam
proses arbitrase dan pengadilan (Yahya Harahap, 2008: 237).
· Proses
penyelesaian bersifat konfidensial Penyelesaian melalui perdamaian, benar-benar
bersifat rahasia atau konfidensial karena penyelesaian tertutup untuk umum dan
yang tahu hanya mediator, konsiliator, atau advisor maupun ahli yang bertindak
membantu penyelesaian. Dengan demikian, tetap terjaga nama baik para pihak
dalam pergaulan masyarakat. Tidak demikian penyelesaian melalui pengadilan.
Persidangan terbuka untuk umum yang dapat menjatuhkan martabat seseorang (Yahya
Harahap, 2008: 237).
· Hubungan
para pihak bersifat kooperatif Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian
adalah hati nurani, terjalin penyelesaian berdasarkan kerjasama. Mereka tidak
saling berperang sehingga menimbulkan permusuhan, tetapi mereka akrab dalam
suasana persaudaraan dan kerjasama (Yahya Harahap, 2008: 237).
· Komunikasi
dan fokus penyelesaian Dalam penyelesaian perdamaian terwujud komunikasi aktif
antara para pihak. Dalam komunikasi itu, terpancar keinginan memperbaiki
perselisihan dan kesalahan masa lalu menuju hubungan 28 yang lebih baik untuk
masa depan. Jadi melalui komunikasi itu apa yang mereka selesaikan bukan masa
lalu (not the past) tetapi untuk masa yang akan datang (for the future) (Yahya
Harahap, 2008: 237).
· Hasil
yang dituju sama menang Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam
penyelesaian perdamaian, dapat dikatakan sangat luhur yaitu sama-sama menang
yang disebut konsep win-win solution, dengan menjauhkan diri dari sifat
egoistik dan serakah, mau menang sendiri (Yahya Harahap, 2008: 238). Dengan
demikian, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang atau bukan winning or
losing seperti penyelesaian melalui putusan pengadilan atau arbitrase (Yahya
Harahap, 2008: 238).
14.3.3 Kekuatan dan Kelemahan Mediasi
Mediasi
sebagai bentuk penyelesaian sengketa memiliki kekuatankekuatan sehingga mediasi
menjadi salah satu pilihan yang dapat dimafaatkan oleh mereka yang tengah
bersengketa. Sebagai berikut :
·
· Pada umumnya mediasi diselenggarakan
secara tertutup atau rahasia. Artinya adalah bahwa hanya para pihak dan
mediator yang menghadiri proses mediasi, sedangkan pihak lain tidak
diperkenankan untuk menghadiri sidang-sidang mediasi. Kerahasiaan dan
ketertutupan ini sering kali menjadi daya tarik bagi kalangan tertentu terutama
pengusaha, yang tidak menginginkan masalahnya dipublikasikan (Takdir Rahmadi,
2011: 22).
· Para pihak dalam proses mediasi dapat
menggunakan bahasa sehari-hari yang lazim mereka gunakan, dan sebaliknya tidak
perlu menggunakan bahasa-bahasa atau istilah-istilah hukum seperti yang lazim
digunakan oleh para advokat dalam beracara di persidangan pengadilan (Takdir
Rahmadi, 2011: 23). 29
· Para pihak melalui proses mediasi dapat
membahas berbagai aspek atau berbagai sisi dari perselisihan mereka, tidak
hanya aspek hukum, tetapi juga aspek-aspek lainnya (Takdir Rahmadi, 2011: 24).
· Sesuai sifatnya yang konsensual atau
mufakat dan kolaboratif, mediasi dapat menghasilkan penyelesaian menang-menang
bagi para pihak (win-win solution). Sebaliknya, litigasi dan arbitrase
cenderung menghasilkan penyelesaian menang-kalah (win-lose solution) (Takdir
Rahmadi, 2011: 24).
· Mediasi merupakan proses penyelesaian
sengketa yang relatif murah dan tidak makan waktu jika dibandingkan dengan
proses litigasi atau berperkara di pengadilan
(Selain
memiliki kelebihan, mediasi juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain :
· Mediasi hanya dapat diselenggarakan secara
efektif jika para pihak memiliki kemauan atau keinginan untuk menyelesaikan
sengketa secara konsensus. Jika hanya salah satu pihak saja yang memiliki
keinginan menempuh mediasi, sedangkan pihak lawannya tidak memiliki keinginan
yang sama, maka mediasi tidak akan pernah terjadi dan jikapun terlaksana tidak
berjalan efektif. Keadaan ini terutama jika penggunaan mediasi bersifat
sukarela (Takdir Rahmadi, 2011: 27).
· Pihak yang tidak beriktikad baik dapat
memanfaatkan proses mediasi sebagai taktik untuk mengulur-ulur waktu
penyelesaian sengketa, misalnya dengan tidak mematuhi jadwal sesi-sesi mediasi
atau berunding sekedar untuk memperoleh informasi tentang kelemahan lawan
(Takdir Rahmadi, 2011: 27).
· Beberapa jenis kasus mungkin tidak dapat
dimediasi, terutama kasuskasus yang berkaitan dengan masalah ideologis dan
nilai dasar yang tidak menyediakan ruang bagi para pihak untuk melakukan
kompromikompromi (Takdir Rahmadi, 2011: 27).
· Mediasi dipandang tidak tepat untuk
digunakan jika masalah pokok dalam sebuah sengketa adalah soal penentuan hak
karena soal penentuan hak haruslah diputus oleh hakim, sedangkan mediasi lebih
tepat untuk digunakan menyelesaikan sengketa terkait dengan kepentingan (Takdir
Rahmadi, 2011: 28)
· Secara normatif mediasi hanya dapat
ditempuh atau digunakan dalam lapangan hukum privat dan tidak dalam lapangan
hukum pidana (Takdir Rahmadi, 2011: 28).
14.3.4 Bentuk-bentuk Mediasi
1. Mediasi di Pengadilan 30 Landasan formil
adanya integrasi mediasi dalam sistem peradilan pada dasarnya bertitik tolak
dari ketentuan Pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 154
RBg (Rechreglement Biutengewesten). Namun, untuk lebih memberdayakan dan
mengefektifkannya, Mahmakah Agung memodifikasikannya ke dalam Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, terdiri dari 8 Bab dan 27 pasal. Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Bab
II tentang Tahap Pra Mediasi, Bab III tentang Tahap Proses Mediasi, Bab IV
tentang Tempat Penyelenggaraan Mediasi, Bab V tentang Perdamaian di Tingkat
Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Bab VI tentang Kesepakatan di Luar
Pengadilan, Bab VII tentang Pedoman Perilaku Mediator dan Insentif, serta yang
terakhir Bab VIII yaitu Penutup.
Hal-hal
yang mendasari Mahkamah Agung dalam menetapkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1
Tahun 2008 diantaranya :
· Untuk mengisi kekosongan hukum terhadap
pengaturan prosedur mediasi yang terintegrasi ke dalam proses litigasi karena
belum ada pengaturan yang memfasilitasi perihal bagaimana tata cara melakukan
mediasi yang terintegrasi ke dalam proses litigasi. HIR (Het Herziene
Indonesisch Reglement) dan RBg (Rechreglement Buitengewesten) memang mewajibkan
Pengadilan Negeri untuk 31 terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum
perkara diputus tetapi HIR dan RBg tidak mengatur secara rinci prosedur
perdamaian yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral.
·
Untuk mengatasi masalah penumpukan perkara
di pengadilan
·
Mediasi merupakan salah satu proses
penyelesaian sengketa yang dianggap lebih cepat dan murah, serta dapat
memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk
memperoleh keadilan
·
Memperkuat dan memaksimalkan fungsi
lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses memutus
(adjudikative)
·
Terdorong oleh keberhasilan negara-negara
lain dalam penerapan mediasi terintegrasi dengan proses litigasi seperti di
Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat (Buku Tanya Jawab PERMA No.1 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, 2008: 1). Peraturan Mahkamah Agung No.
1 Tahun 2008 mengatur tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Prosedur
diartikan sebagai suatu ketentuan-ketentuan tentang tahapan dan tata cara atau
langkahlangkah melaksanakan atau menyelenggarakan sesuatu. Prosedur mediasi
dapat dibedakan atas enam
ketentuan-ketentuan
yaitu :
1)
Tahap Pra Mediasi 32 Tahap ini meliputi langkah-langkah berikut :
· pertama, hakim atau ketua majelis hakim
mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi pada sidang yang dihadiri oleh
para pihak sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No.1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
· Kedua, hakim ketua menjelaskan kepada para
pihak tentang prosedur mediasi berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (6) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008.
· Ketiga, para pihak dalam waktu paling lama
tiga hari melakukan pemilihan seorang atau lebih mediator diantara
pilihan-pilihan yang tersedia sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1).
· Keempat, jika setelah dalam waktu tiga
hari para pihak tidak dapat bersepakat dalam pemilihan mediator, ketua majelis
hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat mediator
dan jika tidak ada hakim bukan pemeriksa perkara bersertifikat, hakim pemeriksa
perkara dengan atau tanpa sertifikat wajib menjalankan fungsi mediator.
2)
Tahap Proses Mediasi
· Pertama, para pihak menyerahkan resume
perkara satu sama lainnya kepada mediator. Penyiapan resume perkara oleh para
pihak secara timbal balik dan kepada mediator memang tidak bersifat wajib
tetapi bersifat anjuran atau pilihan sesuai rumusan ketentuan Pasal 13 ayat (1)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. Tujuan penyiapan dan penyerahan resume adalah untuk mempermudah dan
membantu para pihak dan 33 mediator dalam memahami posisi dan kepentingan para
pihak, serta pokok masalah sengketa atau perkara, sehingga para pihak dan
mediator dapat hemat waktu dalam mencari berbagai kemungkinan pemecahan masalah
(Takdir Rahmadi, 2011: 184-185).
· Kedua, mediator menyelenggarakan sesi-sesi
atau pertemuanpertemuan mediasi. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No.1
tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, proses mediasi berlangsung
paling lama dalam waktu empat puluh (40) hari kerja sejak mediator dipilih atau
ditunjuk dan dapat diperpanjang paling lama empat belas (14) hari kerja sejak
berakhirnya waktu empat puluh hari. Namun, Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tidak mengatur secara rinci
bagaimana mediator menyelenggarakan sesi-sesi mediasi selama proses mediasi
berlangsung, bahkan bilamana perlu mediator dapat mengadakan kaukus dengan
salah satu pihak. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu
pihak saja tanpa dihadiri oleh pihak lawan. Alasannya antara lain untuk
menemukan kepentingan tersembunyi salah satu atau para pihak dalam sengketa.
3)
Proses Mediasi yang Menghasilkan Kesepakatan Perdamaian Akhir dari proses
mediasi menghasilkan dua kemungkinan, yaitu para pihak berhasil mencapai
kesepakatan perdamaian atau gagal mencapai kesepakatan perdamaian. Jika para
pihak berhasil mencapai kesepakatan perdamaian. Sebagai berikut :
§ Para
pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang
dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator
§ Jika
dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib
menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai
§ Sebelum
para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan
perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum
atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik
§ Para
pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan
untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian
§ Para
pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan
dalam bentuk akta perdamaian
§ Jika
para phak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta
perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan
atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai (Pasal 17 Peraturan
Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan).
14.3.5 Jenis-jenis Perkara yang
dapat diselesaikan melalui Mediasi
Kecuali
perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan
hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi 38 Pengawas Persaingan Usaha, semua
sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu
diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator, hal ini
terdapat dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
14.3.6 Peran dan Fungsi Mediator
Kovach menyebutkan peran
mediator mencakup hal-hal berikut :
1. Mengarahkan
komunikasi diantara para pihak
2. Memfasilitasi
atau memimpin proses perundingan
3. Mengevaluasi
kemajuan proses perundingan
4. Membantu
para pihak untuk mempelajari dan memahami pokok masalah dan berlangsungnya
proses perundingan secara baik
5. Mengajukan
usul atau gagasan tentang proses dan penyelesaian sengketa
6. Mendorong
kemampuan diri dan pemberdayaan para pihak untuk melaksanakan proses
perundingan
7. Mengendalikan
jalannya proses perundingan (Nurnaningsih Amriani, 2012: 63-64). Menurut
Fuller, sebagaimana dikutip oleh Takdir Rahmadi (2011: 14), mediator memiliki
beberapa fungsi yaitu katalisator, pendidik, penerjemah, narasumber, penyandang
berita jelek, agen realitas, dan 39 sebagai kambing hitam (scapegoat).
Fungsi-fungsi ini dijabarkan sebagai berikut :
· Katalisator,
yang diperlihatkan dengan kemampuan mendorong lahirnya suasana yang konstruktif
bagi dialog atau komunikasi diantara para pihak dan bukan sebaliknya, yakni
menyebarkan terjadinya salah pengertian dan polarisasi diantara para pihak.
· Pendidik,
yaitu dimaksudkan berusaha memahami kehendak, aspirasi, prosedur kerja,
keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak
· Penerjemah,
artinya mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang
satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang enak didengar oleh
pihak lainnya, tetapi tanpa mengurangi maksud atau sasaran yang hendak dicapai
oleh si pengusul. d. Narasumber, mediator harus mampu mendayagunakan atau
melipatgandakan kemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia.
· Sebagai
penyandang berita jelek, mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses
perundingan dapat bersikap emosional, maka mediator harus siap menerima perkataan
dan ungkapan yang tidak enak dan kasar dari salah satu pihak.
· Sebagai
agen realitas, mediator harus memberitahu atau memberi pengertian secara terus
terang kepada satu atau para pihak, bahwa sasarannya tidak mungkin atau tidak
masuk akal untuk dicapai melalui sebuah proses perundingan. 40 g. Sebagai
kambing hitam, mediator harus siap menjadi pihak yang dipersalahkan apabila
orang-orang yang dimediasi tidak merasa sepenuhnya puas terhadap
prasyarat-prasyarat dalam kesepakatan. Mediator dalam mediasi, berbeda halnya
dengan arbiter atau hakim. Mediator tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan
suatu penyelesaian pada pihak-pihak yang bersengketa.
14.3.7 Kelebihan penyelesaian
sengketa sebagai berikut :
§ Mediator
membimbing para pihak untuk melakukan perundingan sampai terdapat kesepakatan
yang mengikat para pihak.
§ Kesepakatan
ini selanjutnya dituangkan dalam suatu perjanjian. Dalam mediasi tidak ada
pihak yang menang atau kalah. Masing-masing pihak sama-sama menang, karena
kesepakatan akhir yang diambil adalah hasil dari kemauan para pihak itu
sendiri.
§ Kemampuan
seorang mediator sangat menentukan keberhasilan proses mediasi, apalagi dalam
sengketa yang bersifat internasional. Tidak saja berupa pemahaman dan
penguasaan terhadap konsep dan teknik mediasi, tetapi juga mengenai substansi
masalah yang menjadi objek sengketa.
§ Mediasi
dapat berhasil baik jika para pihak mempunyai posisi tawar menawar yang setara
dan mereka masih menghargai hubungan antara mereka dimasa depan. Jika ada
keinginan untuk menyelesaikan 41 persoalan tanpa niat permusuhan secara lama
dan mendalam, maka mediasi adalah pilihan yang tepat (Nurnaningsih Amriani,
2012: 29).
Menurut
Komisi SPIDR (The Society of Professionals in Dispute Resolution), kriteria
seorang mediator antara lain sebagai berikut :
· Memiliki
kemampuan untuk menegosiasikan proses dan menerangkan proses
· Kemampuan
untuk mendapatkan kepercayaan dan menjaga hubungan
· Kemampuan
untuk menempatkan posisi dan keinginan para pihak sesuai dengan kemauan dan
tujuan
· Kemampuan
untuk memahami permasalahan dan hal-hal yang tidak terselesaikan
· Kemampuan
untuk membantu para pihak menemukan jalan keluar atau alternatif pilihan lain
· Kemampuan
untuk menolong memahami prinsipil masalah dan menolong mereka untuk mengambil
keputusan
· Kemampuan
untuk menolong para pihak mengukur alternatif yang tidak dapat diselesaikan
· Kemampuan
untuk menolong para pihak mengerti akan pilihan serta menginformasikannya
kepada pihak lain i. Kemampuan untuk memberikan pengertian apakah keputusa
mereka kelak dapat dilaksanakan atau tidak (Susanti Adi Nugroho, 2009: 30).
14.3.8 Faktor-faktor yang Mendorong Para
Pihak Berkehendak Menempuh Mediasi
Satu
pertanyaan esensial dalam kaitannya dengan upaya membangun sistem penyelesaian
sengketa berdasarkan pendekatan konsensus, yaitu negosiasi dan mediasi, adalah
mengapa orang atau para pihak yang bersengketa berkehendak menyelesaikan
sengketa melalui cara konsensus atau mufakat yaitu :
1. Pandangan teoritis pertama merujuk pada
kebudayaan sebagai faktor dominan. Berdasarkan pandangan ini, cara-cara
penyelesaian konsensus seperti negosiasi dan mediasi dapat diterima dan
digunakan oleh masyarakat karena pendekatan itu sesuai dengan cara pandang
kehidupan masyarakat. Orang-orang atau masyarakat yang mewarisi tradisi
kebudayaan yang menekankan hal penting keharmonisan dan kebersamaan dalam
kehidupan akan lebih dapat menerima dan menggunakan cara-cara konsensus dalam
penyelesaian sengketa (Takdir Rahmadi, 2011: 40).
2. Pandangan teoritis kedua lebih melihat
kekuatan (power) yang dimiliki oleh para pihak yang bersengketa sebagai faktor
dominan. Menurut pandangan ini, orang bersedia untuk menempuh mediasi lebih
disebabkan oleh adanya kekuatan (power) para pihak yang relatif seimbang. Orang
bersedia menempuh perundingan bukan karena ia merasa belas kasihan pada pihak
lawannya atau karena terikat dengan nilai budaya atau nilai spiritual tetapi
karena ia memang membutuhkan kerjasama dari pihak lawan agar ia dapat mencapai
tujuannya atau mewujudkan kepentingannya.
3. Menurut Moore (dalam Takdir Rahmadi, 2011:
43), jika para pihak sama-sama memiliki kekuatan yang simetris dan seimbang,
mereka cenderung menempuh perundingan dan perundingan dapat berjalan secara
lebih efektif. Jika para pihak memiliki kekuatan yang tidak seimbang atau
asimetris perundingan dapat juga berlangsung, tetapi pihak yang kuat mungkin
memanipulasi dan mengeksploitasi pihak yang lemah. Selain dua hal diatas, ada
pula hal yang mendorong masyarakat berkehendak menempuh mediasi, yaitu adanya
kritik yang ditujukan kepada lembaga peradilan. Dari beberapa kepustakaan yang
ada mengenai penyelesaian sengketa melalui pengadilan di beberapa negara,
kritik yang paling umum dilontarkan yaitu penyelesaian sengketa melalui litigasi
sangat lambat, biaya perkara mahal, putusan pengadilan tidak menyelesaikan
masalah, kemampuan para hakim bersifat generalis, dan berbagai ungkapan yang
mengurangi citra pengadilan (Nurnaningsih Amriani, 2012: 40).
14.4 ARBITRASE
14.4.1 Pengertian Arbitrase
Istilah
arbitrase berasal dari kata ‘’arbitrare’’ (bahasa Latin) yang berarti
“kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan’’.
Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini
walaupun sebenarnya mempunyai makna yang sama, antara lain: Subekti menyatakan
bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim
atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau
menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. Sebagai berikut :
1. 1. H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa
arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan
yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan
didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
2. 2. H. M. N Poerwosujtipto menggunakan istilah
perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian,
dimana para pihak bersepakat agar perselisihan meraka tentang hak pribadi yang
dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak
memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat 1
Subekti, Arbitrase Perdagangan (Bandung: Bina Cipta, 1992),
3. 3. H. Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian
Sengketa Komersial Nasional dan Internasional diluar Pengadilan, Pada
dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus pengadilan.
Poin
penting yang membedakan pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur pengadilan
menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase
menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam
arbitrase, arbitrator bertindak sebagai hakim dalam mahkamah arbitrase,
sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang ditangani.
Menurut
Frank Elkoury dan Etna Elkoury, arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau
simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya
diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana
keputusan berdasarkan dengan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak
setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.
Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dari
beberapa pengertian arbitrase di atas, maka terdapat beberapa unsur kesamaan,
yaitu:
· Adanya
kesepakatan untuk menyerahkan sengketa-sengketa, baik yang akan terjadi maupun
yang saat itu terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar
peradilan umum untuk diputuskan.
· Penyelesaian
sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi
yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya di sini dalam bidang perdagangan
industri dan keuangan.
· H.
M. N Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan
Penundaan Pembayaran, Cetakan III, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal.1.
· M.
Husseyn dan A. Supriyani Kardono, Kertas Kerja Ekonomi, Hukum dan Lembaga
Arbitrase di Indonesia, 1995.
· Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 1.
Perkembangan sejarah
pemberlakuan pranata arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat
dilihat dalam uraian berikut:
1.) Zaman Hindia Belanda
Pada zaman ini, Indonesia dikelompokkan dalam tiga golongan, antara lain :
a) Golongan
eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum Negara Belanda (Hukum Barat)
dengan badan peradilan Raad van Justitie dan Residentie-gerecht dengan hukum
acara yang dipakai bersumber kepada hukum yang termuat dalam Reglement op de
Burgelijke Rechtsvordering (B.Rv atau Rv) Anik Entriani:
b) Golongan
bumi putra dan mereka yang disamakan berlaku hukum adatnya masing-masing. Namun
bagi mereka dapat diberlakukan hukum barat jika ada kepentingan umum dan
kepentingan sosial yang dibutuhkan. Badan peradilan yang digunakan adalah
Landraad dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, distrik,
dan sebagainya. Dengan hukum acara yang dipakai bersumber pada Herziene
Inlandsch Reglement (HIR) bagi yang tinggal di Pulau Jawa dan sekitarnya. Dan
bersumber pada Rechtsrgelement Buitengewesten (Rbg).
c) Golongan
Cina dan Timur asing lainnya sejak tahun 1925 diberlakukan dengan hukum Barat
dengan beberapa pengecualian. Selain peradilan sebagai pranata penyelesaian
sengketa pada masa itu dikenal pula adanya arbitrase dengan adanya ketentuan
pasal 377 HIR atau pasal 705 Rbg seperti yang sudah penulis paparkan diatas.
Dari pasal tersebut, menunjukkan bahwa pada zaman Hindia Belanda Arbitrase
sudah diatur dalam tata hukum Indonesia di masa itu. Sejak tahun 1849
(berlakunya KUHAP) yang pada pasal 615 dan 651 Rv yang isinya tentang
pengertian, ruang lingkup, kewenangan dn fungsi arbitrase.
Dari
ketentuan tersebut setiap orang yang bersengketa pada waktu itu punya hak untuk
menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada seseorang atau beberapa orang wasit
(arbiter), selanjutnya arbiter yang dipercaya tadi memeriksa dan memutus
sengketa yang diserahkan kepadanya menurut asas-asas dan ketentuan sesuai yang
diinginkan para pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut.
14.4.2 Ada tiga arbitrase yang
dibentuk oleh Pemerintah Belanda, yaitu:
· Badan
arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia.
· Badan
arbitrase tentang kebakaran.
· Badan
arbitrase asuransi kecelakaan.
14.4.3 Beberapa serangkaian
peraturan perundangan yang menjadi dasar yuridis arbitrase di Indonesia adalah:
· Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pada penjelasan
pasal 3.
· Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, pada pasal 1338 ayat (1).
· Pasal
377 HIR atau pasal 705 RBg.
· Pasal
615-651 Rv.
· Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.
14.4.4 Menurut UU No. 30 tahun
1999, perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk kesepakatan berupa :
1. Klausul
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, atau
2. Suatu
perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Sah
tidaknya perjanjian arbitrase digantungkan pada syarat sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 1230 BW, yakni:
· Kesepakatan
yang mengikat
· Kecakapan
untuk membuat perjanjian
· Suatu
persoalan tertentu
· Sebab
yang tidak terlarang.
Perjanjian
arbitrase dibuat secara tertulis, artinya suatu klausul arbitrase dalam suatu
kontrak atau perjanjian arbitrase ditandatangani oleh para pihak atau dimuat
dalam surat menyurat. Adanya perjanjian tertulis ini dapat mengikat hak para
pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat
dalam pejanjian hanya ke lembaga arbitrase. Perjanjian arbitrase bukanlah
perjanjian bersyarat, maka pelaksanaannya tidak digantungkan pada suatu
kejadian tertentu di masa mendatang.
Perjanjian
ini tidak mempersoalkan maslah pelaksanaan perjanjian tapi hanya mempersoalkan
masalah cara dan pranata yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi
antara para pihak. Perjanjian arbitrase merupakan tambahan dari perjanjian
pokok yang bersifat aksesor.
14.4.5 Syarat Arbitrase
1. Syarat
subjektif
o
Dibuat oleh mereka yang demi hukum cakap
untuk bertindak hukum. (pasal 130 dan 433 KUH Pdt)
o
Dibuat oleh mereka yang demi hukum
berwenang untuk melakukan perjanjian.
2. Syarat
objektif Menurut ketentuan dalam UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai berikut:
o
Sengketa perdata bidang perdagangan
o
Sengketa mengenai hak (yang menurut hukum
dan perundangundangan) dikuasai sepenuhnya oleh para pihak.
3. Isi dan Bentuk Klausul
Arbitrase Isi perjanjian arbitrase mencakup hal-hal sebagai berikut:
· Komitmen/
kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase
· Ruang
lingkup arbitrase
· Bentuk
arbitrase (ad hock atau institusional)
· Aturan
prosedur yang berlaku
· Tempat
dan bahasa yang digunakan
· Pilihan
hukum substansif (material) yang berlaku
14.4.6 Bentuk klausul arbitrase
menurut UU No. 30 tahun 1999, sebagai berikut:
1. Pactum
de compromettindo (klausul yang dibuat sebelum sengketa muncul)
2. Akta
kompromis (perjanjian arbitrase yang dibuat setelah muncul sengketa).
14.4.7.Pelaksanaan Dan Pembatalan Putusan
Arbitrase
Pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara
yang berlaku di pengadilan, di wilayah negara mana permohonan eksekusi
diajukan. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak. Final disini dimaksudkan bahwa putusan arbitrase tidak
dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Dalam
hal pelaksanaan putusan, hal ini harus dilaksanakan dalam tenggang waktu paling
lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, di mana lembar asli
atau salinan autentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter
atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan
catatan yang merupakan akta pendaftaran. Eksekusi putusan arbitrase akan hanya
dilaksanakan jika putusan arbitrase tersebut telah sesuai dengan perjanjian
arbitrase dan memenuhi persyaratan yang ada di UU No. 30 tahun 1999 serta tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Putusan
arbitrase juga dapat dibatalkan oleh para pihak yang bersengketa dengan meminta
kepada Pengadilan Negeri baik terhadap sebagian atau seluruh isi putusan, apabila
diduga mengandung unsur-unsur,
sebagai berikut:
· Surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu atau dinyatakan palsu.
· Setelah
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan
oleh pihak lawan.
· Putusan
diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa. Alasan-alasan pengajuan permohonan pembatalan putusan
arbitrase bersifat alternatif, artinya masing-masing alasan dapat digunakan
sebagai dasar untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase.
14.5 PERBANDINGAN ANTARA
ARBITRASE,LITERASI, PERUNDINGAN
Arbitrase
dan mediasi merupakan bagian dari alternative dispute resolution(alternatif
penyelesaian sengketa). Di mana mengenai alternatif penyelesaian sengketa ini
diatur dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU
30/1999”). Dalam Pasal 1 angka 10 UU 30/1999,
alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
Menurut Pasal
1 Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“Peraturan MA 1/2016”),
mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediator disini
adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak
netral yang membatu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian.
Mediasi
secara etimologi berasal dari bahasa latin, yaitu “mediare” yang memiliki
pengertian “berada di tengah”. Pihak ketiga / Mediator ini berada di tengah
sebab dipilih berdasarkan kenetralan dan kedua belah pihak harus saling
bersepakat dalam hal menunjuk pihak ketiga. Sehingga pihak ketiga dapat
bersikap netral dalam hal memberi solusi, masukan, atau jalan keluar dari
persengketaan tersebut.
Mediator
selaku pihak ketiga yang menengahi harus mengerti permasalahan kedua pihak
tersebut, di mana Mediator akan memperoleh informasi secara lengkap dari
masing-masing pihak guna memahami permasalahan dan juga mencarikan solusi.
Setelah itu, mediator selaku pihak ketiga akan memberikan solusi, di mana
masing-masing pihak harus mendengar segala bentuk masukan dari Mediator, guna
mempercepat penyelesaian permasalahan sehingga dapat mengurangi penumpukan
berkas perkara.
Dalam
hal mediasi, Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan dan
menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, sebab tugas Mediator di sini
hanyalah menengahi sekaligus memberi masukan guna memperoleh jalan keluar dari
permasalahan atau persengketaan yang terjadi. Arbitrase menurut Pasal
1 angka 1 UU 30/1999 adalah cara penyelesaian sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sengketa arbitrase diawali dengan
adanya sebuah kontrak kerjasama antara kedua belah pihak, apabila diantara
kedua belah pihak tidak dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan perjanjian /
kontrak yang telah disepakati, pihak yang dirugikan dapat melakukan arbitrase
untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Proses awal arbitrase dilakukan
dengan cara kedua belah pihak menentukan bersama Arbiter yang akan menjadi
eksekutor atau pengambil keputusan dalam permasalahan yang terjadi. Arbiter
adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya
melalui arbitrase.Pemilihan
Arbiter berdasarkan kesepakatan dilakukan agar Arbiter yang dipilih independen. Peran Arbiter selaku pihak ketiga
dalam arbitrase tidak seperti Mediator yang hanya memberi masukan atau solusi
saja, akan tetapi Arbriter juga memiliki kebijaksanaan dalam memberikan putusan
mengenai permasalahan yang dihadapi oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Sehingga dapat dikatakan peran Arbiter dalam proses Arbitrase memiliki
kewenangan yang lebih dari Mediator dalam proses mediasi. Peran
Arbriter di sini bertujuan agar proses penyelesaian sengketa dapat segera
diselesaikan dan tidak berlarut-larut.
14.5.1 Persamaan dan Perbedaan antara Mediasi dan Arbitrase
1.
Persamaan
a. Keduanya
sama-sama merupakan alternatif penyelesaian sengketa, yaitu sebuah cara
penyelesaian masalah di luar persidangan;
b. Keduanya
sama-sama menunjuk dan menggunakan pihak ketiga sebagai pihak netral yang
menengahi;
c.
Keduanya
bertujuan untuk mempersingkat proses penyelesaian masalah / sengketa.
2.
Perbedaan
a. Pada
mediasi, pihak ketiga adalah Mediator yang bertugas sebagai penengah,
memfasilitasi proses negosiasi dan sebatas memberi masukan. Sedangkan pada
arbitrase, pihak ketiga adalah Arbriter yang dapat memberikan putusan atas
permasalahan.
b. Pada
mediasi hasil bersifat Win-Win Solution, sedangkan arbitrase hasilnya
bersifat Win-Lose Judgement;
c. Pada
mediasi, saran Mediator bersifat tidak mengikat, sehingga para pihak yang
menentukan. Sedangkan pada arbitrase, bersifat mengikat karena Arbriter yang
membuat putusan dan mempunyai kekuatan eksekutorial.
Dasar Hukum:
[1] Pasal
1 angka 2 Peraturan MA 1/2016
[2] Pasal
4 ayat (2) UU 30/1999
[3] Pasal
1 angka 7 UU 30/1999
KASUS
Kasus suster
suntik mayat di Rumah Sakit Khodijah taman sidoarjo berakhir damai. Setelah
keluarga dan pihak rumah sakit menggelar mediasi. Pihak rumah sakit dan pihak
keluarga pesien sudah sama – sama sepakat untuk berdamai setelah dua kali
menggelar mediasi. Kedua pihak bersepakat mediasi sebagai alat untuk
menyelesaikan persoalan. Kedua belah pihak membuat surat perjanjian. Surat
perjanjian kesepakatan tersebut ditandatangani kedua belah pihak di RS Siti Khodijah
Kematan Taman Sidoharjo. Dalam surat perjanjian ini, pihak rumah sakit diwakili
Hamdan sebagai Direktur RS Siti Khodijah sebagai pihak pertama dan Abu Daud
sebagai ahli waris menjadi pihak kedua.
Ada lima
pasal dalam perjanjian kesepakatan yakni :
1. Antara
pihak pertama dan pihak kedua sama- sama menyadari telah terjadi kesalahpahaman
dalam komunikasi dan informasi terkait persoalan kematian Supriyah. Dan
kesalahpahaman itu telah selesai dari mediasi yang dilakukan.
2.
Proses
mediasi ini dilakukan dua pihak sejak 6 februari 2018 dan telah menghasilkan
kesepakatan
3. Karena
segala kesalahpahaman ini telah selesai dalam mediasi, selanjutnya pihak
pertama dan kedua tidak lagi saling mengajukan tuntutan hukum. Baik secara pidana
maupun perdata
4.
Atas
hal- hal di pasal 3, maka pihak yang telah melaporkan RS Siti Khodijah ke
polres tertanggal 31 januari 2018 terkait dugaan tindak pidana yang telah
dilakukan oleh RS, setelah kesepakatan ini akan mencabut dan membatalkan
laporan tersebut. Dan sebaliknya pihak pertama yang akan melaporkan pihak kedua
ke Polda Jatim terkait penyebaran video juga akan dibatalkan setelah surat ini
ditandaangani.
5. Bahwa
surat kesepakatan Bersama ini adalah hasil dari mediasi sebagai yang dianjurkan
oleh UU kesehatan.
Menurut
pihak keluarga almarhum Supariyah yang di wakili pengacaranya, Achmad Yunus
bahwa dalam pembuatan perjanjian kesepakatan antara pihak keluarga dan rumah
sakit siti khodijah tidak ada paksaan, dan rencanyanya dalam waktu dekat akan mencabut
pelaporan di Polresta Sidoharjo.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar