Pokok - Pokok Hukum Mengenai Konsumen, Anti Monopoli, Sengketa dan Persaingan

By irna ardelia - 02.25


PERTEMUAN 4
NAMA : IRNA ARDELIA
NPM     : 22217985
KELAS : 2EB17

11.1 KONSUMEN
11.1.1 Pengertian Konsumen
Konsumen adalah semua pihak yang menggunakan barang/ jasa yang ada di masyarakat, baik untuk kepentingan pribadi, orang lain, dan mahluk hidup lainnya dan tidak untuk dijual kembali. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 tentang Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia di masyarakat, baik bagi kebutuhan diri sendiri, keluarga, orang lain, atau mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Dengan kata lain, sebagian besar konsumen adalah pengguna akhir dari suatu barang/ jasa. Bila pembelian barang bertujuan untuk dijual kembali, maka pembeli tersebut adalah konsumen antara yang dikenal dengan distributor atau pengecer. Kata “konsumen” berasal dari bahasa Inggris, yaitu “consumer” yang artinya adalah setiap orang yang menggunakan atau mengkonsumsi suatu produk (barang/ jasa).

11.1.2 Pengertian Konsumen Menurut Para Ahli
Agar lebih memahami apa arti konsumen, maka kita dapat merujuk pada pendapat beberapa ahli berikut ini:
       1.      Dewi

Menurut Dewi (2013:1), pengertian konsumen adalah seseorang yang menggunakan suatu produk (barang dan/atau jasa) yang dipasarkan.

       2.      Sri Handayani

Menurut Sri Handayani (2012:2), pengertian konsumen adalah seseorang/ suatu organisasi yang membeli atau menggunakan sejumlah barang atau jasa dari pihak lainnya.

       3.      Aziz Nasution

Menurut Aziz Nasution, arti konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu.

      4.      Philip Kotler

Menurut Philip Kotler (2000) dalam bukunya “Principles Of Marketing”, pengertian konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi secara pribadi.

11.2 ASAS DAN TUJUAN
11.2.1 Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:
·         Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
                  ·      Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri

· Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
·  Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
·   Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
·  Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
·      Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen


11.2.2 Asas-Asas Pasal 2 UU PK :

Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:

   ร˜  Asas manfaat

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

  ร˜ Asas keadilan

Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

  ร˜ Asas keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

  ร˜ Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

  ร˜ Asas kepastian hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum setelah mengetahui pengertian beberapa hal tersebut diatas maka sepertinya sudah waktunya konsumen mengetahui hak-hak apa saja yang ia miliki, di dalam UU ini sebagaimana diuraikan di dalam pasal 4
hak-hak konsumen sebagai berikut :

o   Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
o   tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi yang telah dijanjikan
o   Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
o   barang dan/atau jasa
o   Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
o   digunakan
o   Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
o   perlindungan konsumen secara patut
o   Hak untuk mendapat pembinaan dan pembinaan konsumen
o   Hak untuk diperlakukan atau di layani secara benar dan jujur serta tidak
o   diskriminatif
o   Hak untuk mendapat konpensasi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau
o   jasa yang di terima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
o   mestinya
o   Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
o   Dengan demikian banyak hak yang kita dapat sebagai konsumen, banyak hal yang sebenarnya dapat kita cermati saat membeli sebuah produk barang atau jasa, banyak hal-hal kecil adakalanya luput dari perhatian kita saat kita memutuskan untuk membeli sebuah produk, yang akhirnya hal tersebut membuat tidak berfungsinya hak-hak yang kita miliki.


11.3 HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
11.3.1 Kewajiban kosumen

Kewajiban konsumen diatur di dalam pasal 5, di dalam pasal tersebut kewajiban konsumen adalah :

§  Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
§  pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan ;
§  Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa ;
§  Membayar sesuai nilai tukar yang disepakati ;
§  Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


11.4 HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:

§  hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
§  hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
§  hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
§  hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.


11.4.        1  kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:

·                                                ·      beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

·   memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
·  memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·   menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
·      memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
·  memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·      memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
·      Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
·   Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
·      Kewajiban-kewajiban pelaku usaha juga sangat erat kaitannya dengan larangan dan tanggung jawab pelaku usaha yang akan kita bahas nanti.


11.5 PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
 11.5.1  pelaku usaha yang dilarang, sebagai berikut :

        1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
·       
·  Tidak sesuaidengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
·      Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
·    tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·   Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·      Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
·    Tidak mencantumkan yang kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan yang paling baik atau barang tertentu.
·      Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan”halal” yang dicantumkan dalam label;
·      Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
·   tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;


  2.  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

  3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

  4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

11.6 KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.

11.6.1 Tanggung jawab pelaku usaha yaitu :

  ร˜ Pasal 19

 (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan
 (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 (3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi
 (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan
 (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen

  ร˜ Pasal 20

Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut

  ร˜ Pasal 21

(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing

  ร˜ Pasal 22

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian

  ร˜ Pasal 23

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen

  ร˜ Pasal 24

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila :

 a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut
 b.pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut

  ร˜ Pasal 25

(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut
·         tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan
·         tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

  ร˜ Pasal 26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

  ร˜ Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
·           cacat barang timbul pada kemudian hari
·           cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
·           kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
·           lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan 

  ร˜ Pasal 28

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

11.7 SANKSI
Sanksi dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belanda, sanctie, seperti dalam poenale sanctie yang terkenal dalam sejarah Indonesia di masa kolonial Belanda

Sanksi yang melibatkan negara, sebagai berikut :

1.                      §  Sanksi internasional, yaitu langkah-langkah hukuman yang dijatuhkan oleh suatu negara atau            sekelompok negara terhadap negara lain karena alasan-alasan politik.
§  Sanksi diplomatik, yaitu penurunan atau pemutusan hubungan diplomatik, seperti misalnya penurunan tingkat hubungan diplomatik dari kedutaan besar menjadi konsulat atau penarikan duta besar sama sekali.
§  Sanski ekonomi, biasanya berupa larangan perdagangan, kemungkinan dalam batas-batas tertentu seperti persenjataan, atau dengan pengecualian tertentu, misalnya makanan dan obat-obatan, seperti yang dikenakan oleh Amerika Serikat terhadap Kuba.
§  Sanksi militer, dalam bentuk intervensi militer
§  Sanksi perdagangan, yaitu sanksi ekonomi yang diberlakukan karena alasan-alasan non-politik, biasanya sebagai bagian dari suatu pertikaian perdagangan, atau semata-mata karena alasan ekonomi. Lazimnya melibatkan pengenaan tarif khusus atau langkah-langkah serupa, dan bukan larangan total.

12.1 AZAS DAN TUJUAN

12.1.1 Pengertian Azas dan Tujuan

  ร˜ Azas

Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

  ร˜  Tujuan

Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :
·      
·      Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
·      Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha. 
·      Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

12.2 KEGIATAN YANG DILARANG

12.2.1 Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2:

         Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 ” Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.

12.3 PERJANJIAN YANG DILARANG

1.                            1.   Oligopoli: keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit,                         sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2.  Penetapan harga: dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain:

·      Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama
·    Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
·      Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar

3.     Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
4.    Pembagian wilayah: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
5.   Pemboikotan: Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
6.     Kartel: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
7.  Trust: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
8.    Oligopsoni: Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
9.        Integrasi vertikal: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
10.    Perjanjian tertutup: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu
11.    Perjanjian dengan pihak luar negeri: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
12.    Penggabungan: perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
13.    Peleburan: perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
14. Pengambilalihan: perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut .

13.1 HAL- HAL YANG DIKECUALIKAN

Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu
:
   ร˜  Pasal 50
·   perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
·     
·      perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
·  perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
·  perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
·  perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
·      perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
·      perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
·      pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
·      kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
  ร˜ Pasal 51

Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

13.2 KOMISI PENGAWASAN PERSAINGAN USAHA (KPPU)

Komisi pengawasan persaingan usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat undang – undang no 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

13.2.1 KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut :

·       § Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat
    § Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
  § Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan

13.2.2 Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :

·                                        §   Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
§   Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
§   Efisiensi alokasi sumber daya alam
§   Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
§   Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
§   Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
§   Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
§   Menciptakan inovasi dalam perusahaan

13.3 SANKSI

   ร˜  Pasal 36

Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam

  ร˜ Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli

Meski KPPU hanya diberikan  kewenengan menjatuhkan sanksi administrative UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok sementara pidana tambahan dijelaskan dalam pasal 49.

  ร˜ Pasal 48

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

  ร˜ Pasal 49

Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :
·         pencabutan izin usaha; atau
·         larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
·         penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.

14.1 SENGKETA

14.1.1 Pengertian Sengketa

Sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia berarti pertentangan atau konflik, konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang – orang, kelompok- kelompok, atau organisasi – organisasi terhadap satu objek permasalahan senada dengan itu menurut pada pendapat, sebagai berikut :
a.     a. Winardi mengemukakan pertentangan atau konflik yang terjadi antara induvidu -induvidu atau kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain

      b. Ali Achmad mengemukakan pertantangan antara dua phak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

14.1.2 Sebab-sebab Timbulnya Sengketa Berikut ini beberapa teori tentang sebab-sebab timbulnya sengketa, antara lain :

a. Teori hubungan masyarakat

Teori hubungan masyarakat, menitikberatkan adanya ketidakpercayaan dan rivalisasi kelompok dalam masyarakat. Para penganut teori ini memberikan solusi-solusi terhadap konflik-konflik yang timbul dengan cara peningkatan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta pengembangan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keberagaman dalam masyarakat (Takdir Rahmadi, 2011: 8).

b. Teori negosiasi prinsip

Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan diantara para pihak. Para penganjur teori ini berpendapat bahwa agar sebuah konflik dapat diselesaikan, maka pelaku harus mampu memisahkan perasaan pribadinya dengan masalah-masalah dan mampu melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan dan bukan pada posisi yang sudah tetap (Takdir Rahmadi, 2011: 8).

c. Teori identitas

Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena sekelompok orang merasa identitasnya terancam oleh pihak lain. Penganut teori identitas mengusulkan penyelesaian konflik karena identitas yang terancam dilakukan melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara wakil-wakil kelompok yang mengalami konflik dengan tujuan mengidentifikasikan ancaman-ancaman dan kekhawatiran yang mereka rasakan serta membangun empati dan rekonsiliasi. Tujuan akhirnya adalah pencapaian kesepakatan bersama yang mengakui identitas pokok semua pihak (Takdir Rahmadi, 2011: 9).

d. Teori kesalahpahaman antar budaya

Teori kesalahpahaman antar budaya menjelaskan bahwa konflik terjadi karena ketidakcocokan dalam berkomunikasi diantara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Untuk itu, diperlukan dialog antara orang-orang yang mengalami konflik guna mengenal dan memahami budaya masyarakat lainnya, mengurangi stereotipe yang mereka miliki terhadap pihak lain (Takdir Rahmadi, 2011: 9).

e. Teori transformasi

Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan serta kesenjangan yang terwujud dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi maupun politik. Penganut teori ini berpendapat bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui beberapa upaya seperti perubahan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan, peningkatan hubungan, dan sikap jangka panjang para pihak yang mengalami konflik, serta pengembangan proses-proses dan sistem untuk mewujudkan pemberdayaan, keadilan, rekonsiliasi dan pengakuan keberadaan masing-masing (Takdir Rahmadi, 2011: 9).

f. Teori kebutuhan atau kepentingan manusia

Pada intinya, teori ini mengungkapkan bahwa konflik dapat terjadi karena kebutuhan atau kepentingan manusia tidak dapat terpenuhi/ terhalangi atau merasa dihalangi oleh orang/ pihak lain. Kebutuhan dan kepentingan manusia dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu substantif, prosedural, dan psikologis. Kepentingan substantif (substantive) berkaitan dengan kebutuhan manusia yang yang berhubungan dengan kebendaan seperti uang, 20 sandang, pangan, papan/rumah, dan kekayaan. Kepentingan prosedural (procedural) berkaitan dengan tata dalam pergaulan masyarakat, sedangkan kepentingan psikologis (psychological) berhubungan dengan non-materiil atau bukan kebendaan seperti penghargaan dan empati (Takdir Rahmadi, 2011: 10)


14.2 CARA – CARA  PENYELESAIAN SENGKETA

Menurut Pasal 33 Ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha Bersama bedasarkan atas asas keluargaan) piagam PBB Penyelesaian sengeketa dapat melalui cara – cara sebagai berikut :

   1.    Penyelesaian Sengketa melalui Litigasi 

Proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui pengadilan atau yang sering disebut dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu penyelesaian sengketa yang dilaksanakan dengan proses beracara di pengadilan di mana kewenangan untuk mengatur dan memutuskannya dilaksanakan oleh hakim. Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution (Nurnaningsih Amriani, 2012: 35). Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis, menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari alternatif lain yaitu penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal. Penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal ini lah yang 21 disebut dengan “Alternative Dispute Resolution” atau ADR (Yahya Harahap, 2008: 234).

  2.    Penyelesaian Sengketa melalui Non-Litigasi

Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR), yang dalam perspektif Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Alternative Dispute Resolution adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan. Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian sengketa semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan maupun di Mahkamah Agung (Buku Tanya Jawab PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, 2008: 1).

14.2.1 Alternatif dalam penyelesaian sengketa jumlahnya banyak diantaranya :

    a.    Arbitrase

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa arbitrase (wasit) adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Badan Peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.

     b.      Negosiasi

Menurut Ficher dan Ury sebagaimana dikutip oleh Nurnaningsih Amriani (2012: 23), negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Susanti Adi Nugroho (2009: 21) bahwa negosiasi ialah proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak.

    c.    Mediasi

Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga dapat lebih efektif dalam proses tawar menawar (Nurnaningsih Amriani, 2012: 28). Mediasi juga dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap 23 netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat (Susanti Adi Nugroho, 2009: 21).

     d.    Konsiliasi

Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator berubah fungsi menjadi konsiliator. Dalam hal ini konsiliator menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para pihak. Jika para pihak dapat menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator akan menjadi resolution. Kesepakatan yang terjadi bersifat final dan mengikat para pihak. Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi (Nurnaningsih Amriani, 2012: 34).

      e.       Penilaian ahli

Penilaian ahli merupakan cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap perselisihan yang sedang terjadi (Takdir Rahmadi, 2011: 19).

     f. Pencari fakta (fact finding)
  Pencari fakta adalah sebuah cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta bantuan sebuah tim yang biasanya terdiri atas para ahli dengan jumlah ganjil yang menjalankan fungsi penyelidikan atau penemuan fakta-fakta yang diharapkan memperjelas duduk persoalan dan dapat mengakhiri sengketa (Takdir Rahmadi, 2011: 17).

14.3 MEDIASI

14.3.    1    Pengertian Mediasi

Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata Inggris yaitu mediation. Mediasi sering diungkapkan dalam berbagai definisi, diantaranya sebagai berikut :
1. .
1.Menurut Christopher W. Moore (1986) yang dikutip oleh Susanti Adi Nugroho (2009:24), mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para pihak yang berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.
2.Menurut Folberg dan Taylor (1986) sebagaimana dikutip oleh Susanti Adi Nugroho (2009: 24), mediasi adalah suatu proses dimana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang, secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan 25 untuk mencari alternatif dan mencapai penyelesaian yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka.

                Dengan demikian, yang dimaksud dengan mediasi ialah suatu perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh seorang atau lebih mediator yang netral dalam rangka untuk mencapai kata mufakat dalam penyelesaian sengketa, yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Pendekatan konsensus atau mufakat dalam proses mediasi mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dalam proses mediasi harus merupakan hasil kesepakatan atau persetujuan para pihak. Mediasi dapat ditempuh oleh para pihak yang terdiri atas dua pihak yang bersengketa maupun lebih dari dua pihak (multiparties) (Takdir Rahmadi, 2011: 13). Penyelesaian dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Namun, ada kalanya karena berbagai faktor, para pihak tidak mampu mencapai penyelesaian sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu (deadlock, stalemate). Situasi ini yang membedakan mediasi dari litigasi. Litigasi pasti berakhir dengan sebuah penyelesaian hukum, berupa putusan hakim, meskipun penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah sengketa karena ketegangan diantara para pihak masih berlangsung dan pihak yang kalah selalu tidak puas (Takdir Rahmadi, 2011: 13).

         Mediator yang netral mengandung pengertian bahwa mediator tidak berpihak (impartial), tidak memiliki kepentingan dengan perselisihan yang sedang terjadi, serta tidak diuntungkan atau dirugikan jika sengketa dapat diselesaikan atau jika mediasi menemui jalan buntu. Bantuan mediator yang bersifat prosedural antara lain mencakup tugastugas memimpin, memandu, dan merancang sesi-sesi pertemuan atau perundingan, sedangkan bantuan substansial berupa pemberian saransaran kepada pihak yang bersengketa tentang penyelesaian pokok sengketa (Takdir Rahmadi, 2011: 14). Peran mediator dapat bersifat aktif maupun pasif dalam membantu para pihak. Peran aktif harus dilakukan bila para pihak yang bersengketa tidak mampu melaksanakan perundingan yang konstruktif. Sebaliknya mediator memainkan peran pasif jika para pihak sendiri mampu melaksanakan perundingan yang konstruktif dalam arti para pihak sendiri mampu mengusulkan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dan membahas usulan pemecahan masalah itu guna mengakhiri sengketa. Dengan demikian, tingkatan peran mediator dalam membantu para pihak menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka sangat situasional, yaitu tergantung pada kemampuan para pihak dalam melaksanakan perundingan (Takdir Rahmadi, 2011: 14

14.3.2 Keuntungan Menyelesaikan Sengketa melalui Mediasi Adapun keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi antara lain :

·   Penyelesaian sengketa dilakukan para pihak sendiri Penyelesaian melalui mediasi tidak diserahkan kepada kemauan dan kehendak hakim atau arbiter, tetapi diselesaikan oleh para pihak sendiri sesuai dengan kemauan para pihak, sehingga akan dicapai keputusan yang win-win solution (Yahya Harahap, 2008: 237).
·      Jangka waktu penyelesaian pendek Pada umumnya, jangka waktu penyelesaian hanya satu atau dua minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan kerendahan hati dari kedua belah pihak. Itu sebabnya disebut bersifat speedy (cepat) antara 5-6 minggu (Yahya Harahap, 2008: 237).
·   Biaya ringan Penyelesaian dengan mediasi tidak memakan biaya yang tinggi yang dapat memberatkan kedua belah pihak seperti dalam proses litigasi. Para pihak hanya membutuhkan biaya yang ringan dalam mediasi (Yahya Harahap, 2008: 237).
·      Aturan pembuktian tidak perlu Tidak ada pertarungan yang sengit antara para pihak untuk saling membantah dan menjatuhkan pihak lawan melalui sistem dan prinsip pembuktian yang formil dan teknis yang sangat menjemukan seperti halnya dalam proses arbitrase dan pengadilan (Yahya Harahap, 2008: 237).
·      Proses penyelesaian bersifat konfidensial Penyelesaian melalui perdamaian, benar-benar bersifat rahasia atau konfidensial karena penyelesaian tertutup untuk umum dan yang tahu hanya mediator, konsiliator, atau advisor maupun ahli yang bertindak membantu penyelesaian. Dengan demikian, tetap terjaga nama baik para pihak dalam pergaulan masyarakat. Tidak demikian penyelesaian melalui pengadilan. Persidangan terbuka untuk umum yang dapat menjatuhkan martabat seseorang (Yahya Harahap, 2008: 237).
· Hubungan para pihak bersifat kooperatif Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati nurani, terjalin penyelesaian berdasarkan kerjasama. Mereka tidak saling berperang sehingga menimbulkan permusuhan, tetapi mereka akrab dalam suasana persaudaraan dan kerjasama (Yahya Harahap, 2008: 237).
· Komunikasi dan fokus penyelesaian Dalam penyelesaian perdamaian terwujud komunikasi aktif antara para pihak. Dalam komunikasi itu, terpancar keinginan memperbaiki perselisihan dan kesalahan masa lalu menuju hubungan 28 yang lebih baik untuk masa depan. Jadi melalui komunikasi itu apa yang mereka selesaikan bukan masa lalu (not the past) tetapi untuk masa yang akan datang (for the future) (Yahya Harahap, 2008: 237).
·  Hasil yang dituju sama menang Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam penyelesaian perdamaian, dapat dikatakan sangat luhur yaitu sama-sama menang yang disebut konsep win-win solution, dengan menjauhkan diri dari sifat egoistik dan serakah, mau menang sendiri (Yahya Harahap, 2008: 238). Dengan demikian, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang atau bukan winning or losing seperti penyelesaian melalui putusan pengadilan atau arbitrase (Yahya Harahap, 2008: 238).

14.3.3 Kekuatan dan Kelemahan Mediasi

Mediasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa memiliki kekuatankekuatan sehingga mediasi menjadi salah satu pilihan yang dapat dimafaatkan oleh mereka yang tengah bersengketa. Sebagai berikut :
·  
·    Pada umumnya mediasi diselenggarakan secara tertutup atau rahasia. Artinya adalah bahwa hanya para pihak dan mediator yang menghadiri proses mediasi, sedangkan pihak lain tidak diperkenankan untuk menghadiri sidang-sidang mediasi. Kerahasiaan dan ketertutupan ini sering kali menjadi daya tarik bagi kalangan tertentu terutama pengusaha, yang tidak menginginkan masalahnya dipublikasikan (Takdir Rahmadi, 2011: 22).
·     Para pihak dalam proses mediasi dapat menggunakan bahasa sehari-hari yang lazim mereka gunakan, dan sebaliknya tidak perlu menggunakan bahasa-bahasa atau istilah-istilah hukum seperti yang lazim digunakan oleh para advokat dalam beracara di persidangan pengadilan (Takdir Rahmadi, 2011: 23). 29
·     Para pihak melalui proses mediasi dapat membahas berbagai aspek atau berbagai sisi dari perselisihan mereka, tidak hanya aspek hukum, tetapi juga aspek-aspek lainnya (Takdir Rahmadi, 2011: 24).
·    Sesuai sifatnya yang konsensual atau mufakat dan kolaboratif, mediasi dapat menghasilkan penyelesaian menang-menang bagi para pihak (win-win solution). Sebaliknya, litigasi dan arbitrase cenderung menghasilkan penyelesaian menang-kalah (win-lose solution) (Takdir Rahmadi, 2011: 24).
·      Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang relatif murah dan tidak makan waktu jika dibandingkan dengan proses litigasi atau berperkara di pengadilan

(Selain memiliki kelebihan, mediasi juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain :

·    Mediasi hanya dapat diselenggarakan secara efektif jika para pihak memiliki kemauan atau keinginan untuk menyelesaikan sengketa secara konsensus. Jika hanya salah satu pihak saja yang memiliki keinginan menempuh mediasi, sedangkan pihak lawannya tidak memiliki keinginan yang sama, maka mediasi tidak akan pernah terjadi dan jikapun terlaksana tidak berjalan efektif. Keadaan ini terutama jika penggunaan mediasi bersifat sukarela (Takdir Rahmadi, 2011: 27).
·     Pihak yang tidak beriktikad baik dapat memanfaatkan proses mediasi sebagai taktik untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian sengketa, misalnya dengan tidak mematuhi jadwal sesi-sesi mediasi atau berunding sekedar untuk memperoleh informasi tentang kelemahan lawan (Takdir Rahmadi, 2011: 27).
·       Beberapa jenis kasus mungkin tidak dapat dimediasi, terutama kasuskasus yang berkaitan dengan masalah ideologis dan nilai dasar yang tidak menyediakan ruang bagi para pihak untuk melakukan kompromikompromi (Takdir Rahmadi, 2011: 27).
·       Mediasi dipandang tidak tepat untuk digunakan jika masalah pokok dalam sebuah sengketa adalah soal penentuan hak karena soal penentuan hak haruslah diputus oleh hakim, sedangkan mediasi lebih tepat untuk digunakan menyelesaikan sengketa terkait dengan kepentingan (Takdir Rahmadi, 2011: 28)
·     Secara normatif mediasi hanya dapat ditempuh atau digunakan dalam lapangan hukum privat dan tidak dalam lapangan hukum pidana (Takdir Rahmadi, 2011: 28). 

14.3.4 Bentuk-bentuk Mediasi

1.   Mediasi di Pengadilan 30 Landasan formil adanya integrasi mediasi dalam sistem peradilan pada dasarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 154 RBg (Rechreglement Biutengewesten). Namun, untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkannya, Mahmakah Agung memodifikasikannya ke dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, terdiri dari 8 Bab dan 27 pasal. Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Bab II tentang Tahap Pra Mediasi, Bab III tentang Tahap Proses Mediasi, Bab IV tentang Tempat Penyelenggaraan Mediasi, Bab V tentang Perdamaian di Tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Bab VI tentang Kesepakatan di Luar Pengadilan, Bab VII tentang Pedoman Perilaku Mediator dan Insentif, serta yang terakhir Bab VIII yaitu Penutup.

Hal-hal yang mendasari Mahkamah Agung dalam menetapkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 diantaranya :

·   Untuk mengisi kekosongan hukum terhadap pengaturan prosedur mediasi yang terintegrasi ke dalam proses litigasi karena belum ada pengaturan yang memfasilitasi perihal bagaimana tata cara melakukan mediasi yang terintegrasi ke dalam proses litigasi. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan RBg (Rechreglement Buitengewesten) memang mewajibkan Pengadilan Negeri untuk 31 terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum perkara diputus tetapi HIR dan RBg tidak mengatur secara rinci prosedur perdamaian yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral.
·           Untuk mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan
·           Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan
·           Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses memutus (adjudikative)
·           Terdorong oleh keberhasilan negara-negara lain dalam penerapan mediasi terintegrasi dengan proses litigasi seperti di Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat (Buku Tanya Jawab PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, 2008: 1). Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 mengatur tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Prosedur diartikan sebagai suatu ketentuan-ketentuan tentang tahapan dan tata cara atau langkahlangkah melaksanakan atau menyelenggarakan sesuatu. Prosedur mediasi dapat dibedakan atas enam

ketentuan-ketentuan yaitu :

1) Tahap Pra Mediasi 32 Tahap ini meliputi langkah-langkah berikut :
·    pertama, hakim atau ketua majelis hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi pada sidang yang dihadiri oleh para pihak sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
·   Kedua, hakim ketua menjelaskan kepada para pihak tentang prosedur mediasi berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008.
·    Ketiga, para pihak dalam waktu paling lama tiga hari melakukan pemilihan seorang atau lebih mediator diantara pilihan-pilihan yang tersedia sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1).
·      Keempat, jika setelah dalam waktu tiga hari para pihak tidak dapat bersepakat dalam pemilihan mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat mediator dan jika tidak ada hakim bukan pemeriksa perkara bersertifikat, hakim pemeriksa perkara dengan atau tanpa sertifikat wajib menjalankan fungsi mediator.

2) Tahap Proses Mediasi

·     Pertama, para pihak menyerahkan resume perkara satu sama lainnya kepada mediator. Penyiapan resume perkara oleh para pihak secara timbal balik dan kepada mediator memang tidak bersifat wajib tetapi bersifat anjuran atau pilihan sesuai rumusan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Tujuan penyiapan dan penyerahan resume adalah untuk mempermudah dan membantu para pihak dan 33 mediator dalam memahami posisi dan kepentingan para pihak, serta pokok masalah sengketa atau perkara, sehingga para pihak dan mediator dapat hemat waktu dalam mencari berbagai kemungkinan pemecahan masalah (Takdir Rahmadi, 2011: 184-185).
·  Kedua, mediator menyelenggarakan sesi-sesi atau pertemuanpertemuan mediasi. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, proses mediasi berlangsung paling lama dalam waktu empat puluh (40) hari kerja sejak mediator dipilih atau ditunjuk dan dapat diperpanjang paling lama empat belas (14) hari kerja sejak berakhirnya waktu empat puluh hari. Namun, Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tidak mengatur secara rinci bagaimana mediator menyelenggarakan sesi-sesi mediasi selama proses mediasi berlangsung, bahkan bilamana perlu mediator dapat mengadakan kaukus dengan salah satu pihak. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak saja tanpa dihadiri oleh pihak lawan. Alasannya antara lain untuk menemukan kepentingan tersembunyi salah satu atau para pihak dalam sengketa.

3) Proses Mediasi yang Menghasilkan Kesepakatan Perdamaian Akhir dari proses mediasi menghasilkan dua kemungkinan, yaitu para pihak berhasil mencapai kesepakatan perdamaian atau gagal mencapai kesepakatan perdamaian. Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan perdamaian. Sebagai berikut :

§   Para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator
§   Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai
§  Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik
§   Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian
§   Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian
§   Jika para phak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai (Pasal 17 Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan). 

14.3.5 Jenis-jenis Perkara yang dapat diselesaikan melalui Mediasi

Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi 38 Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator, hal ini terdapat dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

14.3.6 Peran dan Fungsi Mediator

Kovach menyebutkan peran mediator mencakup hal-hal berikut :

1.    Mengarahkan komunikasi diantara para pihak
2.    Memfasilitasi atau memimpin proses perundingan
3.    Mengevaluasi kemajuan proses perundingan
4. Membantu para pihak untuk mempelajari dan memahami pokok masalah dan berlangsungnya proses perundingan secara baik
5.    Mengajukan usul atau gagasan tentang proses dan penyelesaian sengketa
6.  Mendorong kemampuan diri dan pemberdayaan para pihak untuk melaksanakan proses perundingan
7. Mengendalikan jalannya proses perundingan (Nurnaningsih Amriani, 2012: 63-64). Menurut Fuller, sebagaimana dikutip oleh Takdir Rahmadi (2011: 14), mediator memiliki beberapa fungsi yaitu katalisator, pendidik, penerjemah, narasumber, penyandang berita jelek, agen realitas, dan 39 sebagai kambing hitam (scapegoat). Fungsi-fungsi ini dijabarkan sebagai berikut :

·    Katalisator, yang diperlihatkan dengan kemampuan mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi dialog atau komunikasi diantara para pihak dan bukan sebaliknya, yakni menyebarkan terjadinya salah pengertian dan polarisasi diantara para pihak.
·   Pendidik, yaitu dimaksudkan berusaha memahami kehendak, aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak
·   Penerjemah, artinya mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang enak didengar oleh pihak lainnya, tetapi tanpa mengurangi maksud atau sasaran yang hendak dicapai oleh si pengusul. d. Narasumber, mediator harus mampu mendayagunakan atau melipatgandakan kemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia.
·   Sebagai penyandang berita jelek, mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional, maka mediator harus siap menerima perkataan dan ungkapan yang tidak enak dan kasar dari salah satu pihak.
·   Sebagai agen realitas, mediator harus memberitahu atau memberi pengertian secara terus terang kepada satu atau para pihak, bahwa sasarannya tidak mungkin atau tidak masuk akal untuk dicapai melalui sebuah proses perundingan. 40 g. Sebagai kambing hitam, mediator harus siap menjadi pihak yang dipersalahkan apabila orang-orang yang dimediasi tidak merasa sepenuhnya puas terhadap prasyarat-prasyarat dalam kesepakatan. Mediator dalam mediasi, berbeda halnya dengan arbiter atau hakim. Mediator tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu penyelesaian pada pihak-pihak yang bersengketa.

14.3.7 Kelebihan penyelesaian sengketa  sebagai berikut :

§  Mediator membimbing para pihak untuk melakukan perundingan sampai terdapat kesepakatan yang mengikat para pihak.
§  Kesepakatan ini selanjutnya dituangkan dalam suatu perjanjian. Dalam mediasi tidak ada pihak yang menang atau kalah. Masing-masing pihak sama-sama menang, karena kesepakatan akhir yang diambil adalah hasil dari kemauan para pihak itu sendiri.
§  Kemampuan seorang mediator sangat menentukan keberhasilan proses mediasi, apalagi dalam sengketa yang bersifat internasional. Tidak saja berupa pemahaman dan penguasaan terhadap konsep dan teknik mediasi, tetapi juga mengenai substansi masalah yang menjadi objek sengketa.
§  Mediasi dapat berhasil baik jika para pihak mempunyai posisi tawar menawar yang setara dan mereka masih menghargai hubungan antara mereka dimasa depan. Jika ada keinginan untuk menyelesaikan 41 persoalan tanpa niat permusuhan secara lama dan mendalam, maka mediasi adalah pilihan yang tepat (Nurnaningsih Amriani, 2012: 29). 

Menurut Komisi SPIDR (The Society of Professionals in Dispute Resolution), kriteria seorang mediator antara lain sebagai berikut :

·      Memiliki kemampuan untuk menegosiasikan proses dan menerangkan proses
·      Kemampuan untuk mendapatkan kepercayaan dan menjaga hubungan
·   Kemampuan untuk menempatkan posisi dan keinginan para pihak sesuai dengan kemauan dan tujuan
·      Kemampuan untuk memahami permasalahan dan hal-hal yang tidak terselesaikan
·      Kemampuan untuk membantu para pihak menemukan jalan keluar atau alternatif pilihan lain
·      Kemampuan untuk menolong memahami prinsipil masalah dan menolong mereka untuk mengambil keputusan
·      Kemampuan untuk menolong para pihak mengukur alternatif yang tidak dapat diselesaikan
·      Kemampuan untuk menolong para pihak mengerti akan pilihan serta menginformasikannya kepada pihak lain i. Kemampuan untuk memberikan pengertian apakah keputusa mereka kelak dapat dilaksanakan atau tidak (Susanti Adi Nugroho, 2009: 30). 

14.3.8 Faktor-faktor yang Mendorong Para Pihak Berkehendak Menempuh Mediasi

Satu pertanyaan esensial dalam kaitannya dengan upaya membangun sistem penyelesaian sengketa berdasarkan pendekatan konsensus, yaitu negosiasi dan mediasi, adalah mengapa orang atau para pihak yang bersengketa berkehendak menyelesaikan sengketa melalui cara konsensus atau mufakat yaitu :

 1.   Pandangan teoritis pertama merujuk pada kebudayaan sebagai faktor dominan. Berdasarkan pandangan ini, cara-cara penyelesaian konsensus seperti negosiasi dan mediasi dapat diterima dan digunakan oleh masyarakat karena pendekatan itu sesuai dengan cara pandang kehidupan masyarakat. Orang-orang atau masyarakat yang mewarisi tradisi kebudayaan yang menekankan hal penting keharmonisan dan kebersamaan dalam kehidupan akan lebih dapat menerima dan menggunakan cara-cara konsensus dalam penyelesaian sengketa (Takdir Rahmadi, 2011: 40).
 2.   Pandangan teoritis kedua lebih melihat kekuatan (power) yang dimiliki oleh para pihak yang bersengketa sebagai faktor dominan. Menurut pandangan ini, orang bersedia untuk menempuh mediasi lebih disebabkan oleh adanya kekuatan (power) para pihak yang relatif seimbang. Orang bersedia menempuh perundingan bukan karena ia merasa belas kasihan pada pihak lawannya atau karena terikat dengan nilai budaya atau nilai spiritual tetapi karena ia memang membutuhkan kerjasama dari pihak lawan agar ia dapat mencapai tujuannya atau mewujudkan kepentingannya.
 3.  Menurut Moore (dalam Takdir Rahmadi, 2011: 43), jika para pihak sama-sama memiliki kekuatan yang simetris dan seimbang, mereka cenderung menempuh perundingan dan perundingan dapat berjalan secara lebih efektif. Jika para pihak memiliki kekuatan yang tidak seimbang atau asimetris perundingan dapat juga berlangsung, tetapi pihak yang kuat mungkin memanipulasi dan mengeksploitasi pihak yang lemah. Selain dua hal diatas, ada pula hal yang mendorong masyarakat berkehendak menempuh mediasi, yaitu adanya kritik yang ditujukan kepada lembaga peradilan. Dari beberapa kepustakaan yang ada mengenai penyelesaian sengketa melalui pengadilan di beberapa negara, kritik yang paling umum dilontarkan yaitu penyelesaian sengketa melalui litigasi sangat lambat, biaya perkara mahal, putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, kemampuan para hakim bersifat generalis, dan berbagai ungkapan yang mengurangi citra pengadilan (Nurnaningsih Amriani, 2012: 40).

14.4 ARBITRASE

14.4.1 Pengertian Arbitrase

Istilah arbitrase berasal dari kata ‘’arbitrare’’ (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan’’. Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini walaupun sebenarnya mempunyai makna yang sama, antara lain: Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. Sebagai berikut :

1.  1. H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
2.    2.  H. M. N Poerwosujtipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan meraka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat 1 Subekti, Arbitrase Perdagangan (Bandung: Bina Cipta, 1992),
3.   3. H. Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional diluar Pengadilan,  Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus pengadilan.

Poin penting yang membedakan pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur pengadilan menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai hakim dalam mahkamah arbitrase, sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang ditangani.

Menurut Frank Elkoury dan Etna Elkoury, arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan berdasarkan dengan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.

Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Dari beberapa pengertian arbitrase di atas, maka terdapat beberapa unsur kesamaan, yaitu:

·  Adanya kesepakatan untuk menyerahkan sengketa-sengketa, baik yang akan terjadi maupun yang saat itu terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar peradilan umum untuk diputuskan.
·    Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya di sini dalam bidang perdagangan industri dan keuangan.
·      H. M. N Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Cetakan III, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal.1.
·      M. Husseyn dan A. Supriyani Kardono, Kertas Kerja Ekonomi, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, 1995.
·  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 1.

Perkembangan sejarah pemberlakuan pranata arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam uraian berikut:

1.) Zaman Hindia Belanda Pada zaman ini, Indonesia dikelompokkan dalam tiga golongan, antara lain :
 a) Golongan eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum Negara Belanda (Hukum Barat) dengan badan peradilan Raad van Justitie dan Residentie-gerecht dengan hukum acara yang dipakai bersumber kepada hukum yang termuat dalam Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (B.Rv atau Rv) Anik Entriani: 
 b) Golongan bumi putra dan mereka yang disamakan berlaku hukum adatnya masing-masing. Namun bagi mereka dapat diberlakukan hukum barat jika ada kepentingan umum dan kepentingan sosial yang dibutuhkan. Badan peradilan yang digunakan adalah Landraad dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, distrik, dan sebagainya. Dengan hukum acara yang dipakai bersumber pada Herziene Inlandsch Reglement (HIR) bagi yang tinggal di Pulau Jawa dan sekitarnya. Dan bersumber pada Rechtsrgelement Buitengewesten (Rbg).
 c)  Golongan Cina dan Timur asing lainnya sejak tahun 1925 diberlakukan dengan hukum Barat dengan beberapa pengecualian. Selain peradilan sebagai pranata penyelesaian sengketa pada masa itu dikenal pula adanya arbitrase dengan adanya ketentuan pasal 377 HIR atau pasal 705 Rbg seperti yang sudah penulis paparkan diatas. Dari pasal tersebut, menunjukkan bahwa pada zaman Hindia Belanda Arbitrase sudah diatur dalam tata hukum Indonesia di masa itu. Sejak tahun 1849 (berlakunya KUHAP) yang pada pasal 615 dan 651 Rv yang isinya tentang pengertian, ruang lingkup, kewenangan dn fungsi arbitrase.

Dari ketentuan tersebut setiap orang yang bersengketa pada waktu itu punya hak untuk menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter), selanjutnya arbiter yang dipercaya tadi memeriksa dan memutus sengketa yang diserahkan kepadanya menurut asas-asas dan ketentuan sesuai yang diinginkan para pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut.

14.4.2 Ada tiga arbitrase yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda, yaitu:

    ·      Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia.
    ·      Badan arbitrase tentang kebakaran.
    ·      Badan arbitrase asuransi kecelakaan.

14.4.3 Beberapa serangkaian peraturan perundangan yang menjadi dasar yuridis arbitrase di Indonesia adalah:

·   Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pada penjelasan pasal 3.
·      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada pasal 1338 ayat (1).
·      Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg.
·      Pasal 615-651 Rv.
·      Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.

14.4.4 Menurut UU No. 30 tahun 1999, perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk kesepakatan berupa :

1.    Klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau
2. Suatu perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Sah tidaknya perjanjian arbitrase digantungkan pada syarat sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1230 BW, yakni:

·      Kesepakatan yang mengikat
·      Kecakapan untuk membuat perjanjian
·      Suatu persoalan tertentu
·      Sebab yang tidak terlarang.

Perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis, artinya suatu klausul arbitrase dalam suatu kontrak atau perjanjian arbitrase ditandatangani oleh para pihak atau dimuat dalam surat menyurat. Adanya perjanjian tertulis ini dapat mengikat hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam pejanjian hanya ke lembaga arbitrase. Perjanjian arbitrase bukanlah perjanjian bersyarat, maka pelaksanaannya tidak digantungkan pada suatu kejadian tertentu di masa mendatang.

Perjanjian ini tidak mempersoalkan maslah pelaksanaan perjanjian tapi hanya mempersoalkan masalah cara dan pranata yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara para pihak. Perjanjian arbitrase merupakan tambahan dari perjanjian pokok yang bersifat aksesor.

   14.4.5 Syarat Arbitrase

   1.    Syarat subjektif

o  Dibuat oleh mereka yang demi hukum cakap untuk bertindak hukum. (pasal 130 dan 433 KUH Pdt)
o  Dibuat oleh mereka yang demi hukum berwenang untuk melakukan perjanjian.

   2.  Syarat objektif Menurut ketentuan dalam UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai berikut:

o  Sengketa perdata bidang perdagangan
o  Sengketa mengenai hak (yang menurut hukum dan perundangundangan) dikuasai sepenuhnya oleh para pihak.

3. Isi dan Bentuk Klausul Arbitrase Isi perjanjian arbitrase mencakup hal-hal sebagai berikut:

·      Komitmen/ kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase
·      Ruang lingkup arbitrase
·      Bentuk arbitrase (ad hock atau institusional)
·      Aturan prosedur yang berlaku
·      Tempat dan bahasa yang digunakan
·      Pilihan hukum substansif (material) yang berlaku

14.4.6 Bentuk klausul arbitrase menurut UU No. 30 tahun 1999, sebagai berikut:

1.    Pactum de compromettindo (klausul yang dibuat sebelum sengketa muncul)
2.    Akta kompromis (perjanjian arbitrase yang dibuat setelah muncul sengketa).

14.4.7.Pelaksanaan Dan Pembatalan Putusan Arbitrase

Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku di pengadilan, di wilayah negara mana permohonan eksekusi diajukan. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Final disini dimaksudkan bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Dalam hal pelaksanaan putusan, hal ini harus dilaksanakan dalam tenggang waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, di mana lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran. Eksekusi putusan arbitrase akan hanya dilaksanakan jika putusan arbitrase tersebut telah sesuai dengan perjanjian arbitrase dan memenuhi persyaratan yang ada di UU No. 30 tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Putusan arbitrase juga dapat dibatalkan oleh para pihak yang bersengketa dengan meminta kepada Pengadilan Negeri baik terhadap sebagian atau seluruh isi putusan, apabila diduga mengandung unsur-unsur, sebagai berikut:

·      Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
·      Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.
·      Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Alasan-alasan pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase bersifat alternatif, artinya masing-masing alasan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase.

14.5 PERBANDINGAN ANTARA ARBITRASE,LITERASI, PERUNDINGAN

Arbitrase dan mediasi merupakan bagian dari alternative dispute resolution(alternatif penyelesaian sengketa). Di mana mengenai alternatif penyelesaian sengketa ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”). Dalam Pasal 1 angka 10 UU 30/1999, alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Menurut Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“Peraturan MA 1/2016”), mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediator disini adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membatu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Mediasi secara etimologi berasal dari bahasa latin, yaitu “mediare” yang memiliki pengertian “berada di tengah”. Pihak ketiga / Mediator ini berada di tengah sebab dipilih berdasarkan kenetralan dan kedua belah pihak harus saling bersepakat dalam hal menunjuk pihak ketiga. Sehingga pihak ketiga dapat bersikap netral dalam hal memberi solusi, masukan, atau jalan keluar dari persengketaan tersebut.
Mediator selaku pihak ketiga yang menengahi harus mengerti permasalahan kedua pihak tersebut, di mana Mediator akan memperoleh informasi secara lengkap dari masing-masing pihak guna memahami permasalahan dan juga mencarikan solusi. Setelah itu, mediator selaku pihak ketiga akan memberikan solusi, di mana masing-masing pihak harus mendengar segala bentuk masukan dari Mediator, guna mempercepat penyelesaian permasalahan sehingga dapat mengurangi penumpukan berkas perkara.
Dalam hal mediasi, Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan dan menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, sebab tugas Mediator di sini hanyalah menengahi sekaligus memberi masukan guna memperoleh jalan keluar dari permasalahan atau persengketaan yang terjadi. Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 UU 30/1999 adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sengketa arbitrase diawali dengan adanya sebuah kontrak kerjasama antara kedua belah pihak, apabila diantara kedua belah pihak tidak dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan perjanjian / kontrak yang telah disepakati, pihak yang dirugikan dapat melakukan arbitrase untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Proses awal arbitrase dilakukan dengan cara kedua belah pihak menentukan bersama Arbiter yang akan menjadi eksekutor atau pengambil keputusan dalam permasalahan yang terjadi. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.Pemilihan Arbiter berdasarkan kesepakatan dilakukan agar Arbiter yang dipilih independen. Peran Arbiter selaku pihak ketiga dalam arbitrase tidak seperti Mediator yang hanya memberi masukan atau solusi saja, akan tetapi Arbriter juga memiliki kebijaksanaan dalam memberikan putusan mengenai permasalahan yang dihadapi oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Sehingga dapat dikatakan peran Arbiter dalam proses Arbitrase memiliki kewenangan yang lebih dari Mediator dalam proses mediasi. Peran Arbriter di sini bertujuan agar proses penyelesaian sengketa dapat segera diselesaikan dan tidak berlarut-larut.

  14.5.1 Persamaan dan Perbedaan antara Mediasi dan Arbitrase

         1.      Persamaan

a. Keduanya sama-sama merupakan alternatif penyelesaian sengketa, yaitu sebuah cara penyelesaian masalah di luar persidangan;
b.  Keduanya sama-sama menunjuk dan menggunakan pihak ketiga sebagai pihak netral yang menengahi;
c.       Keduanya bertujuan untuk mempersingkat proses penyelesaian masalah / sengketa.

        2.      Perbedaan
a.   Pada mediasi, pihak ketiga adalah Mediator yang bertugas sebagai penengah, memfasilitasi proses negosiasi dan sebatas memberi masukan. Sedangkan pada arbitrase, pihak ketiga adalah Arbriter yang dapat memberikan putusan atas permasalahan.
b.  Pada mediasi hasil bersifat Win-Win Solution, sedangkan arbitrase hasilnya bersifat Win-Lose Judgement;
c.     Pada mediasi, saran Mediator bersifat tidak mengikat, sehingga para pihak yang menentukan. Sedangkan pada arbitrase, bersifat mengikat karena Arbriter yang membuat putusan dan mempunyai kekuatan eksekutorial.

 Dasar Hukum:

[1] Pasal 1 angka 2 Peraturan MA 1/2016
[2] Pasal 4 ayat (2) UU 30/1999
[3] Pasal 1 angka 7 UU 30/1999

KASUS
         Kasus suster suntik mayat di Rumah Sakit Khodijah taman sidoarjo berakhir damai. Setelah keluarga dan pihak rumah sakit menggelar mediasi. Pihak rumah sakit dan pihak keluarga pesien sudah sama – sama sepakat untuk berdamai setelah dua kali menggelar mediasi. Kedua pihak bersepakat mediasi sebagai alat untuk menyelesaikan persoalan. Kedua belah pihak membuat surat perjanjian. Surat perjanjian kesepakatan tersebut ditandatangani kedua belah pihak di RS Siti Khodijah Kematan Taman Sidoharjo. Dalam surat perjanjian ini, pihak rumah sakit diwakili Hamdan sebagai Direktur RS Siti Khodijah sebagai pihak pertama dan Abu Daud sebagai ahli waris menjadi pihak kedua.
Ada lima pasal dalam perjanjian kesepakatan yakni :
1. Antara pihak pertama dan pihak kedua sama- sama menyadari telah terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi dan informasi terkait persoalan kematian Supriyah. Dan kesalahpahaman itu telah selesai dari mediasi yang dilakukan.
2.      Proses mediasi ini dilakukan dua pihak sejak 6 februari 2018 dan telah menghasilkan kesepakatan
3.  Karena segala kesalahpahaman ini telah selesai dalam mediasi, selanjutnya pihak pertama dan kedua tidak lagi saling mengajukan tuntutan hukum. Baik secara pidana maupun perdata
4.      Atas hal- hal di pasal 3, maka pihak yang telah melaporkan RS Siti Khodijah ke polres tertanggal 31 januari 2018 terkait dugaan tindak pidana yang telah dilakukan oleh RS, setelah kesepakatan ini akan mencabut dan membatalkan laporan tersebut. Dan sebaliknya pihak pertama yang akan melaporkan pihak kedua ke Polda Jatim terkait penyebaran video juga akan dibatalkan setelah surat ini ditandaangani.
5.  Bahwa surat kesepakatan Bersama ini adalah hasil dari mediasi sebagai yang dianjurkan oleh UU kesehatan.

         Menurut pihak keluarga almarhum Supariyah yang di wakili pengacaranya, Achmad Yunus bahwa dalam pembuatan perjanjian kesepakatan antara pihak keluarga dan rumah sakit siti khodijah tidak ada paksaan, dan rencanyanya dalam waktu dekat akan mencabut pelaporan di Polresta Sidoharjo.

                                                           DAFTAR PUSTAKA




  • Share:

You Might Also Like

0 komentar